Sistem pengadilan di Indonesia sedang menjadi sorotan publik. Salah satunya terkait pelimpahan berkas persidangan ke pengadilan yang tidak tepat sasaran.
Memang dalam hal ini ada pasal yang mengatur dan memberikan kelonggaran soal kewenangan kepada peradilan yang bukan berdasarkan locus delicti.
Akan tetapi, banyak pihak yang mempertanyakan soal kelonggaran kewenangan yang terdapat pada Pasal 84 KUHAP ayat 2, bagaimana jika dalam pelimpahan suatu perkara pidana oleh Kejaksaan bertentangan.
Sebagai lembaga tertinggi yang membawahi seluruh pengadilan di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) tentu memiliki aturan terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Bahwa setiap pengadilan mempunyai kewenangan relatif untuk mengadili segala perkara tindak pidana.
Selain itu kewenangan pengadilan negeri juga diatur dalam Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Wewenang ini berlaku apabila sebagian besar para saksi yang akan dipanggil pada saat proses pemeriksaan lebih dekat dengan pengadilan negeri dari tempat kejadian perkara.
Namun, hingga saat ini masih banyak pengadilan negeri yang mengambil langkah diluar aturan sistem yang sudah berlaku.
Sebagai contoh, soal kasus kepemilikan lahan di Desa Sako Suban, Sumatera Selatan yang saat ini sedang menjadi sorotan publik.
Dalam kasus ini tertulis dalam berkas perkara tempat kejadian perkara (TKP) mencakup Sekayu dan Palembang sebagai 'locus delicti'. Akan tetapi, kasus ini di limpahkan ke pengadilan lain. Tentu hal ini diluar dari aturan Pasal 84 ayat 1 KUHAP.
Apalagi, jika merujuk pada Pasal 84 ayat 2 KUHAP, mayoritas para saksi berdomisili berada di Sekayu dan Palembang.