Aku masih ingat dan merasa senang saat kau kirimi kami kue apem, buah pisang, dan nasi kuning menjelang bulan puasa kemarin dan tahun-tahun sebelumnya. Demikian juga pada malam ke 25 yang baru lalu. Kau beritahu kami itu sebagai ucapan syukur atas segala rejeki danminta doa agar puasamu lancar dan tuntas.
Dua hari lagi lebaran, kami ingin berkunjung ke rumahmu seperti saat-saat yang lalu.
Janganlah kau ucapkan kata :
“ Lho ikut Idul Fitri toh… apa kamu muslim? Ikut puasa? “
Ah, kata-kata itu sungguh menjadikan diri kami tegar dan tabah. Tapi meruntuhkan jiwamu sendiri…. Tuluskah ucapanmu itu?
Dua tahun ini aku tidak pernah lagi beridul fitri di rumahmu. Walau dengan rasa berat hati saat kami harus menundukkan kepala kala melewati depan rumahmu untuk bersilaturahmi dengan saudara-saudara yang lain.
Kita sekampung. Berkumpul bukan hanya saat ada rapat RT, kerjabakti, dan saat salah satu saudara kita ada yang kembali ke Haribaan Ilahi. Kau tahu, menyadari, dan memahami itu.
Saat semua saudara sekampung berkumpul bersama saling bermaaf-maafan selesai Sholat Ied, kau berkata lantang sebagai seorang pengkotbah :
“ Orang yang tidak mau berkumpul bersama kita untuk saling memaafkan adalah orang munafik. Orang yang tidak mengerti arti persaudaraan! ”
Persaudaran dan perdamaian bukanlah sesuatu yang datang dari langit. Kitalah yang mengupayakan dan merintisnya. Janganlah kau tolak dan kau cibir kami.
( Telkomsel Ramadhanku )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H