[caption id="attachment_303043" align="aligncenter" width="450" caption="Maaf ya foto ini pernah untuk ilustrasi sebelumnya...."][/caption]
Pada hari pasaran kelahiranku atau weton,sendirian aku menuju Ranu Kumbolo pada jam 11 siang karena sebelum jam 3 sore harus sudah sampai di sana. Ini seperti pesan empat orang yang kuanggap tua yang telah kuberitahu tentang tiga sosok tanpa kepala itu. Sambil berpura-pura sebagai pencari kayu bakar kuamati ada 3-4 tenda yang diisi sepasang pria dan wanita. Negative thinking kucoba kuhilangkan dari pikiranku tentang siapa mereka.
Kususuri tepi perbukitan Ranu Kumbolo sambil mengisap rokok klembak dan aku terhenyak ketika sepatu menginjak sebuah panty linier. Saat kulepas dengan sebatang kayu akasia, tampak di bawahnya sebuah karet alat kontrasepsi yang menempel. Astaga sungguh menjijikan….. Kugosok-gosokkan sepatuku di akar ilalang yang tampak karena musim kemarau.
Dengan bergidik aku kembali ke tepi danau. Namun mataku yang masih jalang mengamati tenda yang mulai tertutup rapat karena dinginnya sore dan angin gunung. Kulihat tiga sosok pria muda memakai sarung duduk di dekat salah satu tenda. Tampak jelas wajah mereka bukan orang Suku Tengger. Salah satu tersenyum padaku dan melambaikan tangan padaku. Aku berjalan cepat mendekati mereka. Namun beberapa panty liner dan karet kontrasepsi yang terserak di sela ilalang kembali menghadangku. Kusingkap ilalang mencari jalan yang bersih. Saat mendekati tenda pendaki tiga sosok pemuda tersebut ternyata mereka telah berjalan kembali menuju ke Ranu Pani.
Kulihat Timexku menunjukkan setengah enam sore. Kuikuti tiga sosok pemuda itu dengan tetap menjaga jarak sekitar 50m. Hatiku pun mulai dapat mengendalikan pikiranku. Saat malam mulai menjelang, tiga sosok pemuda tersebut tampak menyalakan obor untuk menerangi jalannya. Padahal sebelumnya dari jauh yang kulihat mereka hanya membawa tongkat bambu kecil.
Jam 8 malam lebih, sampai di tepi Ranu Pani. Di sudut sebuah ladang aku pipis. Begitu selesai kulihat tiga sosok tersebut sudah berada di atas sebuah truk yang membawa kentang menuju Tumpang. Bergegas kuambil sepeda motor yang kutitipkan di Pos Ranu Pani lalu mengikuti truk itu. Jalanan dari Ranu Pani menuju Jemplang memang cukup mulus sehingga berani memacu 60 km di belakang truk itu sambil kadang-kadang melihat tiga sosok pemuda yang terkadang juga tersenyum.
[caption id="attachment_303045" align="aligncenter" width="450" caption="Dua sesepuh Suku Tengger"]
Jalanan yang menanjak dan berkelok tajam serta kegelapan malam tanpa bulan membuatku tak bisa melihat tiga sosok pemuda di atas tumpukan kentang di truk tersebut. Padahal jarakku dengan truk hanya berjarak sekitar 5 meteran saja. Aku berharap di Jemplang atau Ngadas truk akan berhenti dan bisa berbincang dengan mereka. Ternyata tidak……
Jalanan semakin turun dan berkelok tajam , truk kuikuti dari dekat. Kulihat tiga sosok tersebut tiduran di atas tumpukan karung kentang.
Jam sepuluh malam, sampai di depan Pasar Tumpang. Truk berhenti tepat di bawah pohon beringin, tempat yang biasa untuk parkir truk dan pick up pengangkut hasil bumi. Sepeda motor kuparkir di depan warung sate Kang Dullah sambil terus mengamati truk itu lalu segera kudekati. Ternyata pengemudinya Mas Sutirno bersama menantunya. Ketika aku bertanya sambil menunjuk siapa yang ada di atas truk, Mas Sutirno menggeleng kepala sambil berkata: “ Na..na…..” Artinya tak ada siapa-siapa. Aku terhenyak lalu naik ke atas bak truk sambil mengambil sarung-sarung kotor yang menutupi beberapa ikut daun brambang prey supaya tidak terkena embun malam yang mempercepat pembusukan.
“Niku sarung rusuh mantun damel krukupan methik brambang wau lho Mas…,”kata Mas Tirno dengan wajah keheranan melihat aku yang tampak lesu. Itu sarung kotor barusan dipakai memetik daun brambang lho Mas….
“Mangga Mas Ukik neda sate rumiyin,” kata Mas Tirno. Mari Mas Ukik makan sate dahulu…..
Tanpa menjawab, aku, Mas Tirno, dan Sampetno langsung melangkah menuju warung Mas Dullah langganan orang Tengger di Pasar Tumpang.
Sambil makan sate kuamati beberapa jeep terbuka bersiap mengantar para pendaki menuju Ranu Pani. Ketika kutenggak wedang jeruk panas, tiga jeep berangkat dan……. kulihat tiga sosok pemuda itu masing-masing sudah berada di belakang jeep!!!
Sukma wurung, sukma dadi. Kowe dudu memedi…..
Itulah gumamku saat melihat tiga sosok itu seperti pesan Pak Tuyar. Mas Tirno yang mendengar langsung berkata lirih ‘Kok kados ningali lelembut mawon Mas….’ Kok seperti melihat mahluk halus saja Mas…..
Aku cuma tersenyum.
Bagi masyarakat Suku Tengger merupakan dosa besar melakukan hubungan seksual di hutan atau gunung yang merupakan tempat suci. Gunung merupakan tempat para dewa bersemayam. Sedang hutan merupakan tempat para leluhur.
Tidak ada pantangan melakukan hubungan intim bagi suami istri jika berada di kebun atau ladang di tepi hutan. Selama dapat menjaga diri dan kesopanan serta menjaga kebersihan. Cairan vagina dan sperma atau darah menstruasi ( Jawa: rah nggarap sari ) yang tercecer merupakan wiji atau benih yang terbuang sia-sia dan akan menjadi sosok lelembut yang berusaha menjadi manusia. Benih atau wiji yang tercecer dan terbuang disebut sebagai sukma wurung. Sedangkan benih atau wiji yang telah menjadi janin serta terlahir disebut sukma dadi atau manusia.
Merupakan dosa besar dan mengakibatkan timbulnya malapetaka jika pria dan wanita melakukan hubungan intim ( di gunung dan di hutan ) sebelum pernikahan. Tanpa dasar kasih yang setia kecuali egoisme karena nafsuhanya merusak yongi dan lingga yang seharusnya menjadi tanda keagungan cinta sejati.
Benih yang seharusnya menjadi manusia ( wanita ) hanya menjadi sesosok mahluk halus atau lelembut yang oleh masyarakat Suku Tengger disebut mêri. Sedangkan jika dari benih pria disebut memedi. Mereka ini berusaha menggoda pria wanita ( bukan suami istri ) yang tak tahan menahan nafsu agar melakukan hubungan seksual. Sehingga mereka bisa menyusup untuk menjadi manusia sempurna saatwiji atau benih ( sel telur dan sperma ) mereka bertemu. Namun jika benih dibuang sia-sia malah menambah sosok sukma wurung.
0 0 0 0 0
Ranu Regulo, Ranu Pani, dan Ranu Kumbolo memang indah dan menawan untuk dinikmati dengan penuh kesyahduan, namun bukan berarti mengumbar nafsu seenaknya.
Tempat yang indah dan agung janganlah sampai dikotori oleh sampah perbekalan dan terutama sampah nafsu karena pikiran ngeres……. Supaya tak ada sukma wurung!
-
-
F0t0-foto dewe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H