[caption id="attachment_353202" align="aligncenter" width="480" caption="Jam 10 pagi."][/caption]
Bicara tentang Jembatan Merah, pikiran tentu langsung mengarah pada sebuah jembatan bersejarah di Kota Pahlawan, Surabaya. Sebenarnya di Sleman, Jogjakarta juga ada jembatan merah. Tepatnya di daerah Prayan atau 25 m sebelah kanan Universitas Mercu Buana. Hanya saja apakah jembatan ini bersejarah atau tidak, banyak warga yang kurang mengetahuinya (atau memang pura-pura tidak tahu kalau kutanyakan).
Jembatan merah ini melintang sepanjang 15 m di atas ketinggian 25 m Sungai Gajah Wong. Lebarnya hanya sekitar 5 meter sehingga jika mobil berpapasan maka salah satu harus memberi kesempatan kendaraan dari arah berlawanan.
Beberapa teman menyebutkan bahwa daerah ini angker dan wingit. Konon, sekali lagi katanya, sering para pelintas melihat penampakan mayat atau kuntilanak tepat di atas geladak jembatan. Suasananya yang boleh dikatakan gelap atau kurang penerangan memang tampak menyeramkan.
[caption id="attachment_353203" align="aligncenter" width="450" caption="Jam 5 pagi."]
Penasaran akan cerita ini, maka pada Sabtu, 21 Feb 2015 saya pun berkali-kali melongok ke jembatan tersebut. Mulai subuh hingga jam 11 malam. Bahkan pada saat malam hari, sengaja menunggu lelembut sambil mengisap klembak lalu duduk di pojokan halaman Universitas Mercu Buana atau kadang ndhepis di depan penjualan barang rongsokan dekat barongan (rumpun bambu). Ternyata 2 jam ndhepis di sana juga tak melihat sesosok lelembut datang. Hanya melihat seorang penjual sate yang terbirit-birit mendorong gerobaknya karena bau klembak. Padahal tampak jelas aku sedang memotret.
Saat aku pulang, di depan GKI, dia pun bercerita tentang bau klembak pada tiga orang yang berjualan bakmi. Dalam hati saya cuma terkekeh sambil meninggalkan tempat menuju Selokan Mataram dan Jembatan Gajah Wong di sebelah timurnya. Konon, di Selokan Mataram tersebut juga angker. Apalagi yang di pojokan yang ada pohon lo yang amat besar dan subur serta di rumah kosong yang jadi korban vandalisme. Temaramnya penerangan dan sepinya tempat tersebut memang mengesankan seram. Siapa pun pejalan kaki pasti enggan melintas di atas Selokan Mataram pada malam hari. Sehingga ada yang menyebutnya ada hantu yang kadang menampakkan diri.
[caption id="attachment_353204" align="aligncenter" width="469" caption="Jam 7 pagi."]
[caption id="attachment_353205" align="aligncenter" width="465" caption="Jam 11 siang dilihat dari sisi utara."]
Tiga puluh menit ngudud klembak di sana, ternyata membuat sesosok bayangan putihberjalan dan menampakkan diri lalu duduk di pinggir Selokan Mataram. Aku pun mendekati, dan.... ternyata seorang pria dari Cepit yang akan mancing ikan nila atau mujair. Ketika ia mencium bau klembak menyan, ia berkata lirih, “Mas, kok ngudud menyan badhe nyeluk kunti to...?” (Mas, kok merokok kemenyan, apa mau memanggil Kuntilanak?)
Aku cuma tersenyum sambil menjawab, “Hla wong kula Kangmase.....” (Hla saya ini kakaknya...) Ia kaget lalu dengan pelan-pelan bergegas pergi masuk kampung Cepit. Aku yang sudah bosan lalu pergi mengikutinya. Tampaknya ia sedikit takut sehingga mempercepat jalannya. Di keremangan mendung malam di bulan muda, tepat di tikungan kuburan (wakaf) Cepit dia menghilang. Entah lari, entah bersembunyi, entah masuk rumah, atau memang menghilang. Tiba-tiba saja tercium bau wangi bunga kenanga dan kicau burung malam yang berteriak, “Culiiiii... culii... culii....” Kata orang Jawa itu tanda ada sesosok pocongan minta dilepas tali pengikatnya. Dan... tiba-tiba seekor kukukbelok bertengger di atas mistar gawang di depan kuburan dengan matanya yang tajam seperti menantangku. Kini ganti aku yang ngibrit pulang....
[caption id="attachment_353206" align="aligncenter" width="450" caption="Senja hari."]
[caption id="attachment_353207" align="aligncenter" width="450" caption="Jam 11 malam. Penjual sate pun ngibrit!"]
[caption id="attachment_353209" align="aligncenter" width="450" caption="Selokan Mataram dan jembatan setapak di atas Gajah Wong dengan pohon Lo di pinggirnya."]
[caption id="attachment_353210" align="aligncenter" width="450" caption="Rumah kosong korban vandalisme di pinggir Selokan Mataram dan Gajah Wong"]
Catatan:
Barongan artinya rumpun bambu.
Culi dari kata uculi artinya lepaskan.
Kukukbeluk burung hantu ukuran besar.
Kunti atau kuntilanak adalah dipercaya sesosok hantu perempuan korban pembunuhan.
Pocongan adalah hantu yang masih terbungkus kain kafannya.
Ngudud artinya merokok.
** Semua foto dokumen pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H