Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Seramnya Jembatan Merah di Sleman, Jogjakarta

27 Februari 2015   20:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:24 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_353202" align="aligncenter" width="480" caption="Jam 10 pagi."][/caption]

Bicara tentang Jembatan Merah, pikiran tentu langsung mengarah pada sebuah jembatan bersejarah di Kota Pahlawan, Surabaya. Sebenarnya di Sleman, Jogjakarta juga ada jembatan merah. Tepatnya di daerah Prayan atau 25 m sebelah kanan Universitas Mercu Buana. Hanya saja apakah jembatan ini bersejarah atau tidak, banyak warga yang kurang mengetahuinya (atau memang pura-pura tidak tahu kalau kutanyakan).

Jembatan merah ini melintang sepanjang 15 m di atas ketinggian 25 m Sungai Gajah Wong. Lebarnya hanya sekitar 5 meter sehingga jika mobil berpapasan maka salah satu harus memberi kesempatan kendaraan dari arah berlawanan.

Beberapa teman menyebutkan bahwa daerah ini angker dan wingit. Konon, sekali lagi katanya, sering para pelintas melihat penampakan mayat atau kuntilanak tepat di atas geladak jembatan. Suasananya yang boleh dikatakan gelap atau kurang penerangan memang tampak menyeramkan.

[caption id="attachment_353203" align="aligncenter" width="450" caption="Jam 5 pagi."]

14250171461837660908
14250171461837660908
[/caption]

Penasaran akan cerita ini, maka pada Sabtu, 21 Feb 2015 saya pun berkali-kali melongok ke jembatan tersebut. Mulai subuh hingga jam 11 malam. Bahkan pada saat malam hari, sengaja menunggu lelembut sambil mengisap klembak lalu duduk di pojokan halaman Universitas Mercu Buana atau kadang ndhepis di depan penjualan barang rongsokan dekat barongan (rumpun bambu). Ternyata 2 jam ndhepis di sana juga tak melihat sesosok lelembut datang. Hanya melihat seorang penjual sate yang terbirit-birit mendorong gerobaknya karena bau klembak. Padahal tampak jelas aku sedang memotret.

Saat aku pulang, di depan GKI, dia pun bercerita tentang bau klembak pada tiga orang yang berjualan bakmi. Dalam hati saya cuma terkekeh sambil meninggalkan tempat menuju Selokan Mataram dan Jembatan Gajah Wong di sebelah timurnya. Konon, di Selokan Mataram tersebut juga angker. Apalagi yang di pojokan yang ada pohon lo yang amat besar dan subur serta di rumah kosong yang jadi korban vandalisme. Temaramnya penerangan dan sepinya tempat tersebut memang mengesankan seram. Siapa pun pejalan kaki pasti enggan melintas di atas Selokan Mataram pada malam hari. Sehingga ada yang menyebutnya ada hantu yang kadang menampakkan diri.

[caption id="attachment_353204" align="aligncenter" width="469" caption="Jam 7 pagi."]

14250172551569154502
14250172551569154502
[/caption]

[caption id="attachment_353205" align="aligncenter" width="465" caption="Jam 11 siang dilihat dari sisi utara."]

14250173292005664846
14250173292005664846
[/caption]

Tiga puluh menit ngudud klembak di sana, ternyata membuat sesosok bayangan putihberjalan dan menampakkan diri lalu duduk di pinggir Selokan Mataram. Aku pun mendekati, dan.... ternyata seorang pria dari Cepit yang akan mancing ikan nila atau mujair. Ketika ia mencium bau klembak menyan, ia berkata lirih, “Mas, kok ngudud menyan badhe nyeluk kunti to...?” (Mas, kok merokok kemenyan, apa mau memanggil Kuntilanak?)

Aku cuma tersenyum sambil menjawab, “Hla wong kula Kangmase.....” (Hla saya ini kakaknya...) Ia kaget lalu dengan pelan-pelan bergegas pergi masuk kampung Cepit. Aku yang sudah bosan lalu pergi mengikutinya. Tampaknya ia sedikit takut sehingga mempercepat jalannya. Di keremangan mendung malam di bulan muda, tepat di tikungan kuburan (wakaf) Cepit dia menghilang. Entah lari, entah bersembunyi, entah masuk rumah, atau memang menghilang. Tiba-tiba saja tercium bau wangi bunga kenanga dan kicau burung malam yang berteriak, “Culiiiii... culii... culii....” Kata orang Jawa itu tanda ada sesosok pocongan minta dilepas tali pengikatnya. Dan... tiba-tiba seekor kukukbelok bertengger di atas mistar gawang di depan kuburan dengan matanya yang tajam seperti menantangku. Kini ganti aku yang ngibrit pulang....

[caption id="attachment_353206" align="aligncenter" width="450" caption="Senja hari."]

1425017420260835173
1425017420260835173
[/caption]

[caption id="attachment_353207" align="aligncenter" width="450" caption="Jam 11 malam. Penjual sate pun ngibrit!"]

142501748291301620
142501748291301620
[/caption]

[caption id="attachment_353209" align="aligncenter" width="450" caption="Selokan Mataram dan jembatan setapak di atas Gajah Wong dengan pohon Lo di pinggirnya."]

14250176221894090513
14250176221894090513
[/caption]

[caption id="attachment_353210" align="aligncenter" width="450" caption="Rumah kosong korban vandalisme di pinggir Selokan Mataram dan Gajah Wong"]

14250177242028808536
14250177242028808536
[/caption]

Catatan:

Barongan artinya rumpun bambu.

Culi dari kata uculi artinya lepaskan.

Kukukbeluk burung hantu ukuran besar.

Kunti atau kuntilanak adalah dipercaya sesosok hantu perempuan korban pembunuhan.

Pocongan adalah hantu yang masih terbungkus kain kafannya.

Ngudud artinya merokok.

** Semua foto dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun