Mengunjungi tempat wisata di manapun, selalu terlihat dan mudah menemui para penjual makanan dan minuman ringan, cinderamata, kaos, atau mereka yang menyewakan payung bahkan tukang pijat. Kini, yang jarang terlihat adalah tukang foto. Di Borobudur, Prambanan, Kaliurang, Goa Jatijajar, Tangkuban Perahu, Gunung Ijen, Dataran Tinggi Dieng, dan Selecta sejak tiga tahun terakhir sudah tak tampak lagi. Sedang di Gunung Bromo hanya ada sekitar tiga orang tukang foto yang mencari nafkah di wilayah Penanjakan.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan matinya usaha tukang foto di tempat wisata, di antaranya harga kamera yang semakin terjangkau sehingga banyak yang memiliki dan semakin lengkapnya fitur smartphone yang bisa digunakan untuk foto selfie dengan hasil yang bagus.
Jika kita berkunjung ke Tanah Lot di Bali, para tukang foto justru amat banyak. Penampilan mereka yang cukup unik dengan menggunakan pakaian adat Bali yang lengkap dan menenteng dua tas yang berisi kertas foto, mesin cetak foto portable, dan sebuah kamera DSLR kelas menengah membuat mereka mudah ditemui dan membedakan dengan para pengunjung yang membawa kamera.
Tukang Foto Bukan Profesi Utama
Di sepanjang pantai sekitar Tanah Lot jumlah tukang foto ada sekitar seratus dua puluh lima orang. Tetapi setiap hari yang beroperasi hanya sekitar 25 atau 50 orang. Jika hari libur di mana pengunjung amat banyak yang beroperasi sekitar 60 orang. Tukang foto lainnya yang tidak beroperasi biasanya sedang menjalankan profesi lainnya yang tak mungkin ditinggalkan, misalnya sebagai pemandu wisata, sopir travel, menjaga tokonya yang menjual cinderamata, bahkan pelatih surfing di pantai lainnya.
Melihat perlengkapan foto mereka yang kelas menengah dengan dua buah lensa, dua memori, dua baterai kamera, flash, serta mesin cetak portable paling tidak membutuhkan modal sekitar Rp 25 juta. Jumlah yang tidak sedikit. Sebenarnya bisa saja menggunakan kamera saku dengan fitur lengkap, namun mereka kurang pede dan menggunakan DSLR lebih menarik konsumen sekalipun hasilnya juga sama.
Setiap hari mereka rerata bisa memotret hanya 3 sampai 8 jepretan, malah kadang tidak mendapat sama sekali. Sekali jepret harganya Rp 15.000,-Â tanpa file. Berarti pendapatan kotor mereka sebelum dipotong beaya operasional sekitar Rp 45.000,- hingga Rp 120.000,- Setiap bulan mereka bergilir menjadi tukang foto hanya sekitar 16 sampai 20 hari saja. Jika dalam sebulan mereka beroperasi selama 20 hari maka pendapatan kotor mereka kisaran Rp 900.000,- hingga Rp 2.400.000.- saja.
Banyaknya jumlah tukang foto di sana yang mencapai 125 orang tentu menjadi kendala sendiri bagi warga di sana, sebab persaingan semakin ketat dan bisa tidak sehat dalam upaya mencapai kesejahteraan. Maka warga dan tokoh masyarakat di sana sepakat membentuk wadah dalam bentuk koperasi, di mana setiap warga yang ingin menjadi tukang foto wajib menanam saham di koperasi sebesar Rp 50.000.000,-. Pada awalnya berdirinya koperasi, setiap anggota hanya wajib menanam saham sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Semakin menurunnya nilai uang dan untuk membendung jumlah warga yang ingin menjadi tukang foto, maka nilai saham ditinjau kembali setiap tahun.
Jumlah lima puluh juta tentu tampak demikian besar, namun ternyata sebenarnya tidak memberatkan bagi mereka. Sebab dengan ikut koperasi mereka memperoleh beberapa keuntungan. Selain setiap tahun memperoleh pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU), mereka dapat meminjam uang di koperasi dengan bunga kompetitif untuk mengganti perlengkapan fotografi mereka. Bahkan mereka dapat membeli perlengkapan fotografi di koperasi yang disponsori oleh perusahaan fotografi dengan harga yang lebih murah serta mendapat sebuah kaos untuk seragam juga dua buah tas operasional.
Koperasi juga mewajibkan bagi para tukang foto untuk membayar sebesar Rp 3.000,- ( tiga ribu rupiah ) untuk setiap satu jepretan. Pembayarannya dengan cara setiap tukang foto wajib membeli frame ( pigura kertas ) di koperasi seharga Rp 3.000,- Jadi, misalnya mereka bisa membeli dan menghabiskan sebanyak 20 frame berarti mereka telah membayar sebesar Rp 60.000,- Tak ada ketentuan membeli frame dalam jumlah tertentu dalam waktu tertentu. Uang sebesar tiga ribu rupiah ini juga bukan semacam pajak, sebab akan menjadi modal koperasi untuk mengembangkan usaha yang hasilnya juga akan diterima kembali oleh para tukang foto dalam bentuk SHU. Inilah yang membuat para tukang foto senantiasa tersenyum manis dan selalu bergairah menawarkan jasa mereka pada wisatawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H