Mengubah suatu pandangan yang ada dalam masyarakat, baik pandangan pribadi maupun pandangan sosial, terutama pandangan miring ( negatif ) bukanlah hal yang gampang. Perlu waktu lama, bahkan puluhan tahun. Salah satunya adalah tentang saweran bagi sindhen dan tayub, yang sudah saya tulis 2 – 3 kali dengan sudut pandang yang berbeda.
Pikiran agak mumet juga, menghadapi pandangan miring tentang kehidupan para seniman-seniwati kaum pinggiran ini. Seni tradisional yang tak akan bisa lepas begitu saja dari derap langkah kebudayaan masyarakat pedesaan. Boleh saja musik dangdut terdengar menggema dalam pemutaran VCD di pelosok pedesaan atau pagelaran musik jazz oleh sebuah komunitas di pinggir Kaldera Bromo beberapa saat yang lalu. Tetapi pagelaran acara tayuban dengan sindhen-sindhen ( pramugari ) nan cantik, luwes, dan seksi tak akan terpengaruh. Tak lekang dan lapuk kena panas hujan. Menari bersama untuk menghibur masyarakat kaum pinggiran. Kaum tani, buruh tani, nelayan, atau pekerja kasar lainnya.
[caption id="attachment_306932" align="aligncenter" width="450" caption="Tetap menari Tayuban"]
[caption id="attachment_306933" align="aligncenter" width="450" caption="Menari Tayub bersama salah seorang Kepala Adat Suku Tengger."]
Sindhen akan terus mengajak mbesa ( menari ) untuk melupakan sejenak kepenatan hidup dalam kerja keras membangun desa serta mempertahankan seni budaya daerah sebagai aset nasional. Tak peduli dengan cibiran dari mereka yang tak tahu bahwa para sindhen meminta atau menerima saweran sebagai tanda bisa diajak bermain di luar arena untuk memuaskan nafsu birahi kaum hidung belang.
Saweran, merupakan uang dalam jumlah tertentu yang diberikan seseorang yang ingin menari bersama dengan para sindhen dalam acara tayuban. Pada perkembangan selanjutnya karena sudah menjadi kebiasaan bahwa seseorang pasti akan memberi, uang saweran langsung diminta oleh sindhen sebelum tayuban di mulai.
Pada acara hajatan sebuah keluarga dan acara desa, jumlah saweran memang telah ditentukan oleh masyarakat pecinta tayuban. Sedangkan pada acara yang diselenggarakan secara terbuka oleh pemerintah daerah biasanya jumlah saweran tidak ditentukan. Ada yang memberi 50 ribu, 20 ribu, bahkan 5 ribu saja. Para sindhen tidak akan menolak, mereka juga tidak kecewa, jika ada yang tak memberi. Mereka tetap tersenyum manis. Semanis senyum mereka dan secantik sikap mereka dalam mempertahankan seni budaya tradisional. Mereka tetap luwes, seluwes gerak mereka dalam menari tayub.
[caption id="attachment_306934" align="aligncenter" width="450" caption="Ini lho yang kami terima...."]
[caption id="attachment_306936" align="aligncenter" width="450" caption="Dihitung di depan teman-teman."]
[caption id="attachment_306937" align="aligncenter" width="450" caption="Jumlah tak seberapa, tapi tetap diterima dengan senang hati..."]
[caption id="attachment_306938" align="aligncenter" width="450" caption="Senang kan...."]
[caption id="attachment_306939" align="aligncenter" width="450" caption="Panjak ( pengrawit ) juga mendapat bagian."]
-
-
Salam budaya.
Oom pukulun mandara basuki langgeng....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H