Ya, pada 1968 pertama kali saya menjadi pengamen jaran kepang di depan Balaikota Surabaya, Taman Apsari, Gedung Pemuda, RRI Surabaya, dan Embong Macan. Ini kulakukan sepulang sekolah di Jalan Ketabang Kali hingga menjelang berakhirnya PON VII 1969 di Surabaya . Waktu itu memang hanya sekedar ikut-ikutan kelompok jaran kepang dari Jagir Wonokromo atas dasar kasihan melihat seorang anak mengedarkan batok atau tempurung kelapa untuk mengharapkan belas kasihan setelah menari jaran kepang. Tak banyak yang mereka peroleh saat itu, hanya sekitar lima ringgit atau 12,5 rupiah setelah menari selama kurang lebih 2 jam. Betapa pahitnya hidup mereka saat itu….. Hingga kadang-kadang aku dan adik secara sembunyi-sembunyi mengambil beberapa iris tempe jatah makan lalu kami berikan kepada mereka tanpa sepengetahuan orangtua yang mulai bangkrut karena peristiwa 1965.
1978 - 1979, mengamen untuk kedua kalinya bersama teman-teman ( seminaris ) sepulang berkemah di Gunung Panderman karena kehabisan bekal. Suaraku yang sumbang menjadi andalan untuk menyanyikan lagu-lagu Ebiet G.Ade yang melankolis atau Rahmat Kartolo yang sedih mendayu. Karena untuk memainkan gitar sama sekali tak bisa! Keberhasilan mendapat uang sebesar 1500 rupiah perhari membuat kami ketagihan hingga mengulangnya sampai sekitar 10 kali. Uangnya bukan untuk merokok atau membeli ‘Topi Miring’ tapi untuk beli kaos atau sepatu rombengan di Jalan Kelud, Malang.
1980 – 1982, kali ini kami mengamen dengan beberapa seniman ( tari ) dari kelompok kami ( sebut saja LBW – Laras Budi Wanita ) dengan cara yang agak intelek. Minta bantuan kepada tokoh-tokoh masyarakat atau para birokrat. Lumayan hasilnya. Setiap kali akanada penampilan bisa memperoleh dana sebesar 75 ribu. Cukup untuk kembul bujana bersama para seniman secara sederhana setelah penampilan. Jangan harap saat itu bisa mendapat sponsor dari pengusaha, karena mereka lebih senang ( karena terpaksa ) memberi kepada para preman yang suka memalak. Setelah ABRI marah dan berani dar der dor kepada preman dengan ‘petrus’nya kami beberapa kali mendapat sumbangan. Walau tak besar…
1990, kami ( mertua dan kelompok karawitan ) mulai dilirik Golkar dan Walikota Malang mendapat seperangkat gamelan dan jas warna kuning. Tahun 2000, satu persatu anggota kami mulai menghadap Sang Khalik. Gamelan tak ada yang merawat, maka para sepuh yang tinggal dua orang memutus menjual gamelan. Hasilnya…..untuk membangun pagar pembatas pemakaman atau kuburan umum di Desa Sekarpuro dan Madyopuro yang merupakan tapal batas Kabupaten dan Kota Malang. Kini sesepuh hanya tinggal seorang, Paklik ( paman ) kami sendiri yang menyisakan sebuah kendang, slenthem, dan slompret. Masih ada di rumah saya hingga saat ini dan tak akan dijual.
1998, saat perekonomian negeri kita babak belur dihantam George Soros justru saya sedang meroket. Syukur pada Tuhan….. Kami sekeluarga justru sering berjibaku mempertahankan beberapa kelompok kesenian ( jaran kencak, jaran kepang, bantengan, dan karawitan ).
Bahwa kesenian dan kebudayaan tradisional bukan merupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga tetapi seluruh masyarakat, maka untuk menunjang dana setiap kali penampilan atau pementasan kami sering minta sponsor kepada perusahaan dan bank serta kantor pemerintahan dengan menyampaikan proposal.
Tanggapan selalu ada, ya positif ya negatif. Positif, karena proposal diterima. Negatif, karena saat diminta datang kembali untuk mengambil proposal selalu dicurigai sebuah pementasan fiktif atau sekedar abal-abal dan tak mendapat bantuan. Tak apa, karena pada masa kini penipuan sering terjadi. Dan kami juga wajib dicurigai…. Hanya saja sebagai manusia, kami eiit…. saya maksudnya, memang lemah dan bisa tersinggung jika kami kadang dianggap remeh atau disepelekan.
[caption id="attachment_304389" align="aligncenter" width="400" caption="Stress..... menjelang ngamen di sebuah hotel berbintang."]
Pertengahan 2013, sesuai dengan perjanjian di sebuah bank swasta nasional kami datang untuk mengambil bantuan yang dijanjikan. Lewat costumer service dengan senyuman indah gaya excellent service yang profesional dijelaskan bahwa pihak menejemen hanya bisa memberi bantuan tiga renteng kopi instan yang ditaruh di sebuah kotak. Dalam hati aku hanya mengumpat ‘sialan, ini kan sisa jatah tukang parkir……’ Saya pun mundur dan mengucap terima kasih lalu duduk di sebuah kursi serta memasukkan rentengan kopi ke dalam ransel sambil dilihat seorang satpam. Dengan sikap cuek bebek lalu aku menelpon Si Marni yang kantornya tepat di depan bank tersebut untuk segera ke sini.
Lima menit menunggu, satpam mendatangi dan bertanya apakah ada yang bisa dibantu. Aku tersenyum sambil melirik costumer service cantik dan menjawab lirih menunggu istri. Si costumer service cantik rupanya rada sewot dan curiga dan mengedipkan mata pada satpam sebagai tanda ketidaksenangannya pada diriku yang hanya memakai celana katun dan kaos oblong hitam bergambar semar serta memakai udheng dan sandal kulit butut.
Dua menit kemudian Si Marni yang memakai blazer biru tua dengan syal ungu mudah yang tampak lebih cantik ( sombong dulu ya…. ) darisi costumer service datang menemuiku. Sambil dilihat satpam aku langsung berdiri dan berjalan bersama Si Marni menuju si costumer service lalu membicarakan rencana kami tak memperpanjang deposito yang akan jatuh tempo dan akan memindah semua urusan perbankan pada bank lain. Si costumer service cukup terkejut, lalu kami diajak ke sebuah ruangan dan bicara dengan salah satu staf (pimpinan). Pembicaraan pun jadi berbelok arah yang pada intinya kami tak jadi menarik deposito yang telah ngendon selama dua belas tahun dan jumlahnya terus bertambah. Tapi yang terpenting kami mendapat bantuan untuk pementasan kesenian kami dengan nilai sejumlah 100 kali harga tiga renteng kopi instan…..
Wah, ternyata bisa jadi preman modern atau karena mereka kena suwuk sesajen dan udhengku ya…..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H