[caption id="attachment_353041" align="aligncenter" width="550" caption="Dok. Pribadi"][/caption]
Gudheg, bagi warga Jogjakarta sudah menjadi menu keseharian yang sulit ditinggalkan, seperti halnya pecel bagi masyarakat Madiun, Blitar, dan Malang. Hampir di setiap sudut wilayah Jogja mudah sekali menemukan penjual gudheg. Hanya saja hampir para penjualnya adalah kaum wanita tua, termasuk yang ada di sekitar dan kaki lima Malioboro. Memang ada beberapa penjual dari golongan anak muda tetapi rasanya sudah agak melenceng dari rasa asli Jogja yang cenderung manis. Pedas dan agak gurih bahkan seperti sayur tewel (nangka muda) atau blendrang khas Jawa Timur.
Berbeda dengan Mbah Ning (nama menurut pengakuannya), seorang penjual nasi gudheg yang ada sekitar 20 m di timur Jembatan Gajah Wong di Jalan Selokan Mataram, ia berjualan dengan ditemani putrinya dan bahkan kadang dengan menantunya (pria) yang membantu mengangkuti perlengkapannya. Mbah Ning berharap agar putrinya kelak mau menggantikannya untuk berjualan gudheg. Sementara ini putrinya hanya sekedar mengambilkan nasi dan membungkus atau menyajikan saja. Sedang yang mengambil gudheg dan lauknya masih Mbah Ning sendiri. Sedang untuk memasak di rumah dilakukan bersama-sama.
[caption id="attachment_353042" align="aligncenter" width="450" caption="Warungnya 20m di timur Jembatan Gajah Wong, Selokan Mataram. Tampak pengendara sepeda motor adalah seorang dosen tamu di UGM."]
Mbah Ning telah berjualan gudheg lebih dari 14 tahun. Ini dilakukan bukan sekedar untuk mencari nafkah tetapi juga untuk mengenalkan masakan khas ini kepada warga pendatang yang banyak tinggal di daerah tersebut. Karena di daerah Cepit dan Prayan banyak tempat kos bagi karyawan, mahasiswa, dan dosen tamu yang berasal dari luar kota dan mancanegara. Pada saat penulis sarapan ada seorang dosen bule (Inggris?) yang sedang membeli sebungkus nasi gudheg. Cukup mengejutkan saat kami berbincang basa kramanya sangat halus sekali. Sayang sekali dia keberatan untuk dimuat fotonya di tulisan ini. Namun penulis memuatnya secara tak terbuka seperti yang ada di foto ini. Di perkampungan Cepit dan Prayan pun banyak warung kecil, namun menunya lebih beraneka ragam mulai dari tahu lontong, mie rebus, tempe, dan ayam penyet. Sedang penjual gudheg hanya Mbah Ning satu-satunya.
Satu bungkus nasi gudheg dengan sebutir telor (atau sepotong daging ayam), sepotong tempe dan tahu, dan sambel cecek, serta sebungkus krupuk puli harganya hanya 6500 rupiah. Cukup murah dibandingkan dengan ukuran yang sama di Malioboro yang harganya antara 10 ribu bahkan 15 ribu. Harga yang bisa mencekik leher wisatawan.
[caption id="attachment_353043" align="aligncenter" width="450" caption="Kalau ini cuma Rp 5.000,-"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H