Bagi siapapun yang pernah nonton bioskop dan video Home Alone 1 – 3, Sister Act, dan The God Father jika memperhatikan dengan seksama tentu akan bertanya dalam hati mengapa perayaan sakramen ekaristi pada hari Natal tetap saja sepi. Di gereja yang besar dan megah yang hadir tak pernah lebih dari 30 orang. Kebanyakan adalah kaum tua yang telah menyadari semakin ditinggalkan dunia dan hidup dalam kesepian. Bahkan di antara mereka pun ada yang meninggalkan perayaan ekaristi saat masih renungan, tak mengikuti dan menerima sakramen maha kudus. Peserta yang paling banyak adalah para remaja yang masih tertarik untuk menjadi putra-putri altar dan paduan suara. Apakah mereka telah melupakan Tuhan?
Namun pada saat misa arwah, justru banyak sekali yang hadir seperti dalam film The God Father, Ghost, dan sejenisnya.
Berbeda dengan di negeri kita, setiap natal (dan paskah) yang hadir senantiasa melimpah ruah. Pihak panitia pun harus bekerja keras menyiapkan tenda dan segala perlengkapan agar yang hadir terasa nyaman. Semua orang datang dengan penampilan yang menarik layaknya menghadiri sebuah pesta. Benarkah mereka ingat Tuhan?
0 0 0 0 0
Rabu, 24 Desember jam empat sore kami sudah ada di gereja. Seperti biasa Si Marni menjadi dirigen, Si Tengah mengisi sopran, dan Si Bungsu menjadi putrid altar. Aku cuma duduk manis dipojokan dan sedikit menjadi perhatian jemaat karena udhengku dan rasa heran mereka yang melihat diriku yang tak aktif lagi sebagai anggota dewan atau katekis.
Petugas penerima tamu tampak sibuk dengan memakai seragam batik. Petugas keamanan intern memaki seragam khusus sambil membawa HT ditemani beberapa anggota polisi berdiri tegap di depan gereja. Ibadat kok dijaga polisi?
Petugas liturgi tak kalah sibuknya seperti anggota paduan suara yang berusaha menampilkan diri dengan baik dengan suara yang menggema lembut bagaikan suara malaikat. Banyak umat tak bisa mengikuti lagu-lagu yang ditampilkan paduan suara dengan lagu-lagu yang aneh! Maka penampilan paduan suara hanya menjadi sebuah pertunjukan atau konser yang menghibur daripada mengajak menghayati sebuah sakramen!
Altar di depan tabernakel tampak indah dengan hiasan bunga aneka macam dan warna semakin tampak menyemarakkan keindahan. Dalam hati aku cuma bergumam ‘ini meja altar untuk persembahan atau peti mati di sebuah rumah persemayaman?’ Keindahan dan kesemarakan yang salah kaprah!
Selesai perayaan misa kudus, sekitar altar yang demikian disucikan menjadi ajang tempat foto di depan kandang domba tempat kelahiran Kristus dan pohon natal putih dengan kerlap-kerlip lampu yang sudah tak dipahami lagi oleh pemanggul salib. Aneh!
Jam delapan malam kami tinggalkan gereja, beberapa pengemis yang selalu hadir di setiap minggu tampak masih berharap belas kasihan. Biasanya mereka akan meninggalkan gereja jika salah satu anggota keluarganya datang menjemput dengan sepeda motor keluaran terbaru. Menyedihkan!
Jam setengah sembilan malam kami sudah sampai di rumah tanpa hiasan pohon natal dan segala asesorisnya. Keadaan yang sama sejak putri-putri kami masih bayi. Bukan kandang Yesus hanya dihiasi kerlipan bintang dan dinginnya malam?
Kerlip embun di hari Natal
Kamis, 25 Desember jam tujuh pagi embun dan titik-titik air hujan di sela-sela daun pinus dan anggrek memancarkan bias sinar matahari yang lebih indah daripada kerlipan lampu natal. Keadaan seperti ini semakin membuat natal kami semakin ceria walaupun tak ada lagi ucapan natal dari tetangga yang mulai keder setelah mendapat pesan dari salah satu pendatang baru yang mengeluarkan pesan baru.
Jam sembilan pagi kami berangkat ke arah selatan Malang untuk membagikan sebagian rejeki kami dan beberapa titipan teman yang ingin berbagi karena rejeki yang mereka dapat. Tak ada orang pilihan yang kami beri, sepanjang jalan jika kami anggap perlu bantuan maka kami anggap layak diberi. Berbagi dan memberi ke panti asuhan dan panti jompo memang tak pernah kami lupakan. Namun pada masa natal biasanya sumbangan melimpah ruah. Memberi ke tempat lain yang tak seiman sekalipun lewat sebuah LSM atau yayasan mereka bisa dianggap kristenisasi. What can I do?
Jam 12 siang kami tiba di Donomulyo, Purworejo, dan Sitiharjo wilayah pesisir Malang Selatan. Warganya yangmayoritas Kristen dan Katolik tampak masih beranjangsana ke tetangga dan kerabat untuk merayakan natal di masing-masing rumah sambil membawa hantaran mereka. Di sebuah rumah kerabat, kami sudah ditunggu beberapa teman yang tak seiman, namun persaudaraan begitu terasa kental dan erat. Sekalipun mereka menyambut dan menjabattangan kami tanpa ucapan selamat natal atau sekedar mengucapkan selamat dan salam, bagi kami sudah merupakan tanda ikatan persaudaraan dalam kesederhanaan.
[caption id="attachment_343512" align="aligncenter" width="400" caption="Jamuan Natal khas desa, sederhana."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H