Mendengarkan dan melantunkan lagu-lagu jadul dari The Beatles, Bee Gees, The Carpenter, Deep Purple, Rolling Stones, The Cats, ABBA, D’lloyd, Koes Plus, Favoriet, The Mercy’s, Bimbo, dan Panjaitan Bersuadara atau penyanyi single seperti Matt Monroe, Aretha Franklin, Rahmat Kartolo, Christien Panjaitan, Ida Royani, Tetty Kadi, dan Ebiet G. Ade serta Gombloh adalah hal yang biasa bagi orang jadul macam penulis ini. Apalagi pada malam hari saat membaca postingan para kompasianer sambil rengeng-rengeng melantunkan sebuah tembang lawas ‘Are you lonesome tonight’ dari Elvis Presley sungguh asyik.
Pada pagi menjelang siang pun di saat liburan atau pada saat kongkow-kongkow malam hari bersama ‘komunitas bawa lampu’ di pertigaan kampung pun sering kuputar lagu-lagu macam ini. Termasuk pula lagu-lagu dangdut lama dari Muchsin Alatas, Elvie Soekesih, atau dari kelompok Koes Plus dan presiden Partai Idaman seperti Syahdu, Begadang, atau Penasaran semakin menambah keasyikan untuk ngobrol omong kosong. Para ibu lawas alias para nenek muda pun ikut menyambut sambil momong cucunya di depan rumah. Tanpa malu kadang mereka pun ikut nyanyi-nyanyi kecil.
Penulis yang saat kecil dan muda ( hingga kini ) bagaikan ‘kleyang kabur kanginan’ dalam Bahasa Indonesia artinya ‘bagaikan daun kering tertiup angin’ atau sering berpindah tempat. Di perkampungan Kota Malang, di pusat Kota Surabaya, di pinggiran Jogja, hingga di pedalaman Kebumen maka telinga tidak asing akan lagu-lagu tersebut. Termasuk juga lagu-lagu langgam Jawa dan campursari serta uyon-uyon.
Herannya tanggapan para tetangga kadang rada aneh menurut penulis. “Mau mantu ya Mbah, kok mutar tembang Jawa?” Demikian juga saat mutar lagu ini di sekolah setelah semua siswa pulang dan tinggal para guru dan karyawan yang harus menyelesaikan tugas, mereka selalu nyeletuk: “Waduh…yang mau mantu dan tanggapan…“ Dalam hati penulis cuma ngedumel ‘memang lagu Jawa hanya untuk orang yang akan mengadakan pesta perkawinan?’
Keadaan seperti juga dialami penulis saat di Sleman ( Gejayan dan Condong Catur ), Kebumen, Gombong, dan Batu Retno. Memutar lagu Jawa seperti bukan sesuatu yang biasa lagi. Generasi telah berganti, jaman telah berubah, selera pun berbeda, dan semua ada waktunya. Tetapi apakah budaya lokal harus terpinggirkan?
Sore hari di depan taman pusat Kota Solo sambil menikmati soto kaki lima, di mobil penulis memutar lagu-lagu dolanan dari rekaman RRI Surakarta. Penulis pun ikut menyanyikan lagu dolanan anak-anak dengan syair seperti ini:
Kembang jagung omah kampung pinggir lurung
Jejer telu sing tengah bakal omahku
Cempa munggah guwa mudhun nyang kebon raja
Methik kembang soka dicaoske kanjeng rama
Maju kowe tatu mundur kowe ajur
Teka sakbalamu ora wedi tutukanmu
Iki lho dada Satriya iki lho dada Janaka
Seorang pria setua penulis ikut nimbrung ‘Remen lagu Jawa nggih Mas…’ artinya ‘Senang lagu Jawa ya Mas….?’ Tentu saja penulis mengiyakan. Dan menurut Beliau, sudah jarang orang yang tertarik akan lagu-lagu Jawa dalam arti memutar dan menyanyikan secara terbuka.
Sebaliknya jika penulis, kembali ke desa di lereng Gunung Bromo dan Semeru maka memutar lagu-lagu dan music tembang Jawa bukanlah hal yang aneh bahkan sesuatu yang amat diminati. Terutama music - musik tayub dan karawitan gaya jekdong atau seni karawitan gaya Jawa Timuran. Penggemarnya pun bukan hanya kaum tua, tetapi kaum muda dan anak-anak.
Gambaran di atas memang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, sekalipun sedikit banyak menunjukkan bahwa pergeseran selera manusia di bidang musik pun terjadi. Termasuk pada masyarakat Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H