Jogja, sebagai pusat kebudayaan dan filosofi Jawa yang merupakan sisa-sisa peninggalan Mataram (dan diyakini ada darah Singhasari dan Majapait) memang menjadi daya tarik bagi siapa pun untuk mendatanginya. Datang untuk mempelajari dan mengenalnya, tetapi juga datang untuk sekedar wisata. Mulai dari para pakar budaya dan sosial juga para wisatawan kelas sandal japit dan wisatawan galau yang sekedar berhura-hura dan narsis di Tugu Jogja yang sering ditemui setiap malam.
Jogja yang dicintai oleh warganya yang mulai lupa akan budayanya semakin membuat galau dan keprihatinan para tua. Pertanyaan pun timbul ‘Jogyakart,a ada apa denganmu?’ ( http://www.kompasiana.com/aremangadas/Jogyakarta ada apa denganmu_5511216da33311c539ba9776 )
Ruwatan ini memang diadakan sebagai sebuah doa pengharapan kepada Allah Yang Maha Kuasa, bukan sebagai sebuah tontonan yang menjadi perhatian khalayak, maka diadakan pada malam hari.
Bulan sabit tanggal enam pada penanggalan Jawa redup tertutup awan gelap di sebelah barat tugu masih tampak menyinari suasana malam. Pak Bambang Pamungkas dengan lembut terus melantunkan tembang dandanggula yang di antaranya syairnya seperti ini:
Gunung sewu kang pepager wesi
Katon murub kang tumingal gila
Saklire kang lara kabeh
Iya pan anali sampun
Kang tumingal ing awak mami
Miwah sakehing braja
Tan tumama mringsun
Punika sirah manoleh
Rohmat jati jumeneng wali jasmani
Iya jatining mulya
Â