Seperti halnya desa-desa yang ada di timur dan timur laut Malang merupakan desa yang subur dan makmur karena letak wilayahnya cukup dekat dengan Gunung Semeru dan Gunung Bromo. Demikian juga Desa Banjarsari, juga merupakan desa yang subur dan makmur. Sepanjang tahun boleh dikatakan tak pernah ada jeda untuk membiarkan lahan terbengkalai tanpa tanaman. Pengairan terpadu yang dibangun semenjak jaman Orde Baru hingga kini masih berfungsi dengan baik sehingga cukup menunjang pengolahan lahan demi memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Desa Banjarsari hanya berjarak sekitar 10 km dari pusat Kota Malang atau hanya 6 km dari kediaman kami di Sawojajar. Cukup 10 menit menuju sana dengan naik sepeda onthel. Boleh dikatakan hampir setiap dua hari kami melewati ketika harus menuju lereng Bromo di Gubuk Klakah, tetapi kadang hanya sebulan sekali ke Banjarsari saat kami harus kulakan sayuran untuk memenuhi pelanggan di Keputran, Surabaya.
Pukul 5.30
Para buruh tani pemetik sayur sudah berangkat dengan peralatan sederhana berupa pisau dapur ukuran 10–15 cm. Pisau digunakan untuk memotong sawi dari pangkalnya. Jika mereka memanen bayam atau kangkung maka tak perlu membawa pisau, karena kangkung dan bayam harus dicabut dengan akarnya agar tidak cepat layu.
Para pemilik lahan, masih berada di rumah untuk memasak dan menyiapkan makanan yang akan diberikan kepada para buruh tani.
Para pemilik lahan datang membawa bekal menu untuk sarapan para pemetik. Menunya sederhana. Nasi putih atau nasi jagung dengan sayur urap-urap atau lodeh dan sayur klothok yang penting rasanya pedas. Lauknya rempeyek teri, sambal tempe, atau bakwan dan sebungkus kerupuk untuk tiap dua orang pemetik. Minumnya cukup sebotol teh manis atau air tawar. Bukan kopi.
Selain membawa bekal para pemilik lahan atau pengepul biasanya juga membawa silatan (pengikat sayur dari potongan kulit bambu) dan rojong untuk mengangkut sayur ke tempat pengepulan.Â