[caption id="attachment_249800" align="aligncenter" width="582" caption="Tarian dan nyanyian hujan dan cemara ....."][/caption]
Hujan masih saja turun sepanjang hari kemarin hingga sore ini. Kulihat hutan di samping rumah masih tertutup kabut namun menyanyikan siulan pucuk-pucuk cemara yang menari bersama angin gunung. Walau dingin tak begitu menggigit namun rasa sepi senantiasa mengelayut karena keluarga tetap di kota menemani Si Tengah menyelesaikan registrasi di UM. Dan rasa ngantuk berat setelah tadi malam jagongan dan api-api di gubuk sambil menunggu pertandingan sepakbola U 21 di sebuah stasiun tv swasta . Mau keladang enggan, rumput sudah disiangi. Tak ada pilihan lain kecuali duduk-duduk di depan tungku atau perapian sambil membakar kentang dan nyedot klembak atau rokok menyan. Harumnya asap kentang bakar semakin membuat perut lapar. Tak ada lauk kecuali tempe, sawi liar, lombok dan tomat. Apa boleh buat toh memang ini santapan khas desa. Kalau ada lauk selain tempe pasti hanya ikan peda. Maka masaklah sebatang sawi, nyambel tomat, dan goreng lima iris tempe. Jadilah dan tinggal melahap sendirian......
Saat akan menyantap tiba-tiba benak ini melayang ke sebuah kearifan lokal setelah melihat layah atau cowek dan uleg-uleg atau munthu yang ada sambel, tempe, dan sawinya.
Seperti kita ketahui layah atau cowek dan uleg-uleg atau munthu adalah satu bagian yang ‘agak’ sulit dipisahkan. Menggunakan layah untuk menggerus bumbu atau membuat sambel tentu memerlukan uleg-uleg. Tetapi menggunakan uleg-uleg untuk ‘meper’ atau memukul sampai sedikit hancur buah kemiri, lengkuas, serai, atau kluwek tak harus menggunakan layah. Bisa menggunakan tlenan atau bahkan hanya di lantai saja, tentunya harus lantai yang keras! Karena multifungsi ini, ternyata orang Jawa menganggap uleg-uleg mempunyai kekuatan ‘magis’ yang ampuh. Percaya atau tidak terserah pembaca, yang jelas sudah dibuktikan dengan pengalaman pribadi dan tanya sana-sini sampai ke Suku Badui, Kampung Naga, dan pedalaman selatan Jawa.
[caption id="attachment_249801" align="aligncenter" width="567" caption="Api-api di gubuk pedesaan...."]
Suatu kali pasti pembaca pernah menerima tamu yang tak segera pulang. Padahal pembaca sudah capai, bosan, atau malas bicara dengannya yang tak ada ujung pangkalnya. Pokoknya ngelantur. Mauberterus terang minta segera pulang tak mampu atau pekewuh. Jika terpaksa, pembaca mau mengusirnya secara halus, segerelah masuk ke dapur dan ambil uleg-uleg lalu geruskan ke layah tanpa bumbu atau meja dapur tanpa layah sambil berkata lirih: muliha...muliha...muliha.... utawa baliha....baliha....baliha.... , artinya: pulanglah...pulanglah...pulanglah.... Niscaya beberapa saat kemudian, tak sampai lima menit dia akan segera pamit.....
Nah, kalau ternyata tak segera pulang apa yang harus dilakukan? Keluar dari dapur sambil membawa uleg-uleg dan beritahu saja kalau mau masak untuk keluarga. Jika tamunya tetap membandel, banting saja uleg-uleg itu di dapur. Dia pasti kaget dan segera pamit. Pokoknya jangan dilemparkan yang bisa membuat piranti lain pecah berantakan apalagi dibanting atau dilemparkan di depan tamu.
Mau dicoba? Silakan........ tapi jangan protes kalau tamunya tahu dan merasa diusir he...he...he...
[caption id="attachment_249802" align="aligncenter" width="566" caption="Mau ikut makan dengan sambel dan lauk seperti ini? Ayo....."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H