Sudah hampir satu jam matahari tenggelam, candikala sudah tak ada lagi di ufuk barat. Suara reknong dan jangkrik di tepian sungai pun mulai mendendangkan malam. Sesekali burung bence melintas di atas ladang tempat Jatmiko menunggukekasihnya, Jumiati. Jatmiko tampak gelisah, sesekali ia menengok ke atas sambil mengepulkan asap rokok cap Jago. Rokok khas desa, tanpa rasa dan aroma sekedar menghangatkan tenggorakan.
Di atas bukit mendung hitam kelam menutup langit sehingga bulan yang seharusnya purnama tak tampak sama sekali. Jatmiko semakin gelisah ketika serombongan para gadis yang baru keluar dari padepokan tak menunjukkan sosok Jumiati.
Sekali lagi diisapnya dalam-dalam rokok itu. Ah, mungkinkah Jumiati pulang lebih awal dan enggan menemuhinya di gubuk sini? Pikiran Jatmiko jadi kacau balau. Ia teringat sebulan yang lalu, saat kemesraan antara dirinya dan Jumiati tak terkendali lagi. Usai gerimis menjelang malam saat purnamasidhi, di gubuk itu ia merasakan kehangatan menggelora tak terkira. Jatmiko semakin gelisah, jangan-jangan Jumiati menganggapnya dirinya sebagai lelaki pengecut yang menyenangkan dirinya sendiri. Lalu ia merebahkan diri di galar bambu di gubuk itu.
Tiba-tiba suara lembut menyapa dari belakangnya “ Mas……. “
“ Ah, Jum….kukira kamu nggak mau datang ke sini?”
Jumiati hanya diam saja, wajahnya juga menampakkan kegalauannya.
“ Bulan memang tertutup mendung, bukan tak mau datang. Jangan sedih ah….” kata Jatmiko berpuisi.
Jumiati memandang wajah Jatmiko penuh arti dan berkata lirih “ Bulan memang tak datang Mas…. Peganglah perutku ini……”
“ Jati....jati.... eh jadi..... jadiii..... kamu…..kamu…..” kata Jatmiko gemetar. Jumiati menitikkan air mata.
Ketika Jatmiko memegang perut Jumiati terdengar ayam jago berkokok padahal waktu masih menunjukkan sekitar jam 7 malam.
- -
- -
Kali ini tanpa foto dulu.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H