Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenalkan Pada Anak-Anak: Negeri Kita Agraris!

2 Maret 2012   16:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di depan rumah Pak Tuyar kupandang puncak Semeru yang menyemburkan asapnya dengan tegar. Cahaya purnamasidhi dari barat semakin menampakkan kekokohannya. Aku masih enggan masuk, dan hanya memandangi langit yang sekali-sekali melontarkan ‘lintang alihan’ Malam terasa panjang dan dingin. Ketika kejenuhan mulai muncul, aku masuk dan segera merebahkan diri di amben. Mata terpejam tapi pikiran terus berkelana. Tuhan…malam ini aku hanya ingin segera tidur dalam naunganMu…, seruku dalam batin pada Junjunganku.

Kehangatan segera menggugah diriku saat sarung tebal menutupi tubuhku yang tengkurab menahan dinginnya dini hari. Aku terperangah menatap sarung biru. Ini kan sarung Marni…? Aku segera beranjak dari amben dan duduk di depan perapian bersama Pak Tuyar yang sudah bangun. Pagi ternyata telah menunjuk jam lima.

“Sarunge ngendi kok ora dienggo? Ibumu sing nylimuti slirane nganggo sarunge Marni…” (Sarungnya mana kok tidak dipakai? Ibumu yang menyelimutimu dengan sarungnya Marni…)

Ibumu….? Sarungnya Marni….? Ahhh……. Kuusap mataku yang pedas karena asap kayu akasia hutan yang terbakar diperapian dan untuk menggugah diriku apakah ini hanya mimpi.

“Iki kopine umbihen…ben anget” kata Pak Tuyar yang menyadarkan aku, bahwa ini kenyataan. (Ini kopinya minumlah…biar hangat)

“Marni pundi Pak…” (Marni mana Pak…) Entah mengapa tiba-tiba aku bertanya tentang Marni.

“Aneng sumur umbah-umbah. Tomo ngangsu,” kata Pak Tuyar sambil meniup kayu bakar. ( Di perigi mencuci pakaian. Tomo menimba air )

Kuambil ember plastik di dapur lalu seperti biasa ke sumur untuk mengisi bak mandi mengganti tugas Mas Tomo seperti yang selalu kulakukan selama menginap di sana. Di tepi sumur, Marni sedang mencuci sambil berbincang dengan Budhe Surti, kakak Pak Tuyar, yang sedang mususi (mencuci beras). Budhe Surti tersenyum melihat kedatanganku sambil menatap penuh arti yang tak kutahu maksudnya. Aku hanya menyapa dan membalas dengan senyuman serta menganggukkan kepala…Mengetahui kedatanganku, Mas Tomo meninggalkan perigi. Kubungkukkan badan saat menaruh ember dan kuslempangkan sarung biru ke pundakku. Aku terhenyak!

Duh Gusti……, sarung Marni masih melekat di tubuhku….. Kulirik Budhe Surti yang telah selesai mususi. Ia pun tersenyum padaku lagi lalu meninggalkan kami berdua sambil bersuara lirih….

“Muga-muga tansah langgeng kaya mimi lan mintuna…..” Semoga abadi hingga kakek nenek….

oooooo

Di ujung desa, aku, Mas Mulyadi (Pak Lurah), dan beberapa pemuda menyambut rombongan murid-muridku, beberapa guru, dan wali murid yang kuajak ‘studi wisata’ ke sini. Desa Ngadas selama ini memang sering menjadi tujuan PPL dan KKN beberapa perguruan tinggi. Namun sebagai daerah yang subur dan keunikan budayanya, jarang sekali menjadi tujuan studi wisata untuk tingkat sekolah lanjutan, apalagi sekolah dasar.

[caption id="attachment_164219" align="aligncenter" width="483" caption="Sekali waktu ajaklah anak kita ke gunung atau hutan."][/caption] [caption id="attachment_164220" align="aligncenter" width="498" caption="Menyusuri kebun dan ladang di pedesaan."]

13306793001326765253
13306793001326765253
[/caption]

Selain medannya yang berat, pandangan dan pendapat bahwa siswa sekolah dasar masih terlalu dini untuk melakukan hal ini. Selama tujuannya bukan sekedar untuk mencari nilai akademis, tetapi untuk mengenalkan alam dan budaya serta tradisi pertanian dengan segala aspeknya bukanlah sesuatu yang sia-sia. Bukankah negeri kita agraris. Kenalkan pada anak-anak kita, negeri kita agraris. Hanya menjejalkan pengetahuan akademis tanpa penerapan, anak kita tak akan mempunyai pengalaman yang berharga. Apalagi orangtua murid mendukung, tak ada salahnya di jalankan.

Beberapa lahan penduduk yang ditanami kentang, wortel, dan brokoli hijau sebagian sengaja kubeli sebelum dipanen untuk wisata pertanian kali ini tanpa mengurangi harga pasaran.

[caption id="attachment_164221" align="aligncenter" width="628" caption="Panen bersama akan menambah pengalaman,"]

1330679553617808424
1330679553617808424
[/caption] [caption id="attachment_164223" align="aligncenter" width="624" caption="Kebersamaan putra-putri, orangtua, dan guru akan menambah semangat mereka."]
13306798881402282171
13306798881402282171
[/caption]

oooooo

Menjelang sore, kami mohon pamit pada para pemuda yang menemani kami. Kuajak beberapa orangtua murid dan rekan guru mampir ke rumah Pak Tuyar yang kukenalkan sebagai kerabat. Kukenalkan pula Marni sebagai adik sepupuku. Wajahnya yang merona merah menahan malu, rupanya memancing ketidakpercayaan seorang rekan guru wanita dan orangtua murid.

“Adik ketemu gedhe, makanya krasan disini. Gak krasan di kota!”    Adik ketemu sudah besar, makanya betah di sini. Tak betah di kota!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun