Sejak dulu hingga kini, di mana pun di belahan bumi ini, jamuan makan bersama untuk menyambut tamu atau orang yang dihormati sudah merupakan kebiasaan bahkan budaya yang demikian melekat. Hanya saja pada masa kini terjadi pergeseran pemaknaannya. Makan bersama memang sering dilakukan oleh sebuah kelompok atau komunitas untuk saling mengakraban diri namun di lain pihak untuk suatu maksud tertentu. Misalnya melakukan lobi dalam urusan bisnis atau pengenalan suatu produk tertentu. Bahkan, dalam kehidupan dinamika politik juga dilakukan dengan cara makan bersama. Hanya saja makan bersama seperti ini sering dilakukan dalam bentuk sebuah pertemuan informal di sebuah rumah makan, café, restaurant, dan bahkan hotel berbintang. Seperti yang dilakukan oleh anggota dewan yang terhormat dan para aparat dan pejabat masa kini. Sehingga muncullah larangan untuk melakukan rapat di hotel. Karena pada acara makan bersama ini lebih berarti atau dapat dikonotasikan sebuah pesta daripada kebersamaan. Hanya sebuah kerumunan orang yang makan bersama tanpa ikatan emosional apalagi kasihsayang!
Namun amat disayangkan bahwa makan bersama dalam keluarga sudah jarang bahkan mungkin tidak pernah lagi dilakukan. Kesibukan masing-masing pribadi, dan terutama orangtua dengan alasan karir, sering meninggalkan anak hidup dalam pola asuh asisten rumah tangga atau kerabat. Sehingga sekedar meluangkan waktu untuk makan bersama pun amat sulit dilakukan.
Dalam masyarakat tradisional, makan bersama masih mudah dijumpai. Baik yang dilakukan oleh keluarga maupun oleh masyarakat dalam suatu kegaiatan adat tertentu. Misalnya, setelah gotongroyong membersihkan kampung, pada saat sinoman dan biadan ( membantu sebuah keluarga yang sedang mengadakan pesta keluarga ), sayan atau membangun rumah secara bergotongroyong, serta pada saat perayaan 17 Agustus dan nyadran.
Dalam istiadat Jawa, makan bersama disebut kembul bujana memang mempunyai dua versi. Pertama, makan bersama-sama disatu wadah yang sama. Entah di piring, takir, atau niru ( tampah ). Misalnya makan oleh-oleh dari kenduri. Ini yang paling jarang ditemui. Kedua, makan bersama-sama di tempat dan pada saat yang sama. Misalnya, makan bersama dalam keluarga atau dalam komunitas tertentu setelah melakukan suatu kegiatan.
Dengan alasan tertentu, seseorang kadang tidak bisa melakukan kembul bujana atau makan bersama. Pepatah Jawa mengatakan ‘mangan ora mangan sanajan kumpul’ yang artinya makan atau tidak sebaiknya berkumpul. Berkumpul bukan sekedar bersama-sama tetapi saling mengakrabkan diri dalam satu keluarga yang penuh cintakasih.
Masihkah kita makan bersama keluarga pada hari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H