[caption id="attachment_298126" align="aligncenter" width="500" caption="Beberapa orang harus naik tebing yang licin dan rimbum. "][/caption]
[caption id="attachment_298130" align="aligncenter" width="500" caption="Jalan jadi lapang dan sedikit terang walau tanpa lampu."]
Gotong royong merupakan salah satu ciri kehidupan sosial masyarakat di negeri tercinta ini. Pola hidup kemasyarakatan ini memang telah tertanam sejak jaman dulu. Pada masa kini, gotong royong masih banyak dilakukan di daerah perkampungan dan pedesaan sebagai bentuk kerukunan dan kekeluargaan. Bagi masyarakat di wilayah kota, boleh dikatakan telah terkikis oleh kemajuan jaman dan nilai-nilai kebersamaan yang mulai surut. Bukan karena egoisme semata tetapi karena tuntutan profesionalisme dalam pekerjaan sehingga waktu amat sedikit terluangkan untuk kegiatan ini.
[caption id="attachment_298133" align="aligncenter" width="500" caption="Meratakan jalan setapak menuju tangga puncak Gunung Bromo setelah letusan."]
[caption id="attachment_298134" align="aligncenter" width="500" caption="Gugur gunung dengan latar belakang Pura Poten"]
Bagi masyarakat pedesaan yang tinggal di kaki atau lereng gunung dan perbukitan, gotong royong biasa disebut gugur gunung. Tentu saja sebutan ini bukan sekedar kiasan semata, karena dalam kenyataannya gotong royong sering dilakukan untuk membersihkan jalan-jalan di tepi tebing dan lembah yang curam dan mulai tertutup oleh semak belukar di samping kiri kanannya. Selain itu, terkadang harus mengepras bukit untuk membangun sebuah gedung yang diperlukan bagi warga desa. Bahkan juga membersihkan jalan dari pasir dan batu akibat letusan gunung atau banjir. Peralatan yang digunakan juga merupakan alat-alat sederhana, seperti: sabit, cangkul, gergaji, sapu lidi, dan karung goni untuk membuang sampah atau memindahkan batu dan pasir.
[caption id="attachment_298131" align="aligncenter" width="500" caption="Mengepras bukit untuk lahan gedung sekolah."]
[caption id="attachment_298132" align="aligncenter" width="500" caption="Pembangunan gedung sekolah."]
Gugur gunung ini selain untuk tetap menjaga kekerabatan atau kekeluargaan, tetapi juga akan memperlancar jalur transportasi yang pada akhirnya akan memperlancar dan meningkatkan perekonomian masyarakat sendiri.
Resiko akan terjadinya kecelakaan tentu saja kadang harus dihadapi oleh mereka yang ikut gugur gunung ini. Jatuh dari pohon dan bukit yang licin karena hujan atau lumut yang masih menempel basah kadang terjadi. Akibatnya pun macam-macam, mulai dari sekedar terkilir hingga patah tulang.Seperti yang dialami oleh Pak Buardi warga desa kami, saat harus memotong dahan pohon yang patah akibat badai dan menimpa kabel listrik tegangan tinggi sehingga listrik di desa menjadi padam. Ketika dahan dipotong hampir putus ternyata langsung melanting memukul dan mematahkan betisnya. Aparat dan warga desa berusaha membawa ke rumah sakit terdekat ( sekitar 35km ) namun beliau yang takut jarum suntik enggan. Selama enam bulan beliau hanya terbaring di rumah dan hanya mengandalkan jamu tradisional. Lukanya memang dapat disembuhkan tetapi tulang betisnya menjadi bengkok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H