Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Barongsai, Seni Tradisional Masyarakat Tiong Hwa

16 Februari 2015   20:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 1695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barongsai merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Tiong Hwa yang banyak menarik perhatian masyarakat untuk ditonton. Permainan yang atraktif dan lincah ini sering ditampilkan pada saat perayaan tahun baru penanggalan China atau Hari Raya Imlek. Namun juga kadang ditampilkan pada saat-saat tertentu, seperti perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia atau pesta atau hari ulang tahun Tempat Ibadah Tri Dharma bagi pemeluk Agama Kong Hu Chu.

Pada tahun 60–70an saat HUT Kemerdekaan Republik Indonesia sering ditampilkan dengan permainan Liang-liong atau tarian naga yang terbuat dari kertas. Barongsai dan Liang-liong memang menggambarkan seekor naga yang merupakan binatang keramat bagi orang Tiong Hwa.

14240665792087982882
14240665792087982882

14240666041173145753
14240666041173145753


Sejarah Barongsai di China.

Barongsai dikenal di China saat ada peperangan antara pasukan Nan Bei dan Lin Yi, dimana pasukan Nan Bei kewalahan lalu membuat boneka naga lalu diberi lampu dan digerakkan pada malam hari. Pasukan Lin Yi melihat naga yang menyala dan menari-nari sambil mengeluarkan bola-bola api menjadi takut dan melarikan diri. Naga menyala dan mengeluarkan api inilah yang menjadi alasan sebagai binatang yang dipilih dari binatang-binatang yang terkenal sebagai shio, misalnya: harimau, kelinci, tikus, atau kuda. Bagaimana akhir dari peperangan tersebut? Para tokoh Tiong Hwa kurang memahaminya.

1424066678951554798
1424066678951554798


Sejarah Barongsai di Indonesia.

Sulit untuk membuktikan sejarah awal masuknya Barongsai ke Indonesia. Namun dari beberapa pengurus dan pemerhati kesenian ini mengatakan Barongsai masuk ke Indonesia seiring masuknya orang China dari daratan Tiongkok pada masuk surutnya Majapait. Dan semakin pesat pada masa kemerdekaan hingga awal 70an. Lalu tenggelam pada 70 hingga akhir 90an. Tenggelamnya kesenian Barongsai karena alasan politis yang saat itu Indonesia merasa kawatir akan hegemoni RRC ( saat itu ) atas Asia Tenggara dan dituduh ikut terlibatkudeta PKI. Selain atas desakan beberapa tokoh masyarakat dan agama agar masyarakat Tong Hwa menyesuian diri secara budaya dengan budaya dan kearifan lokal setempat.

14240666401864773936
14240666401864773936


Awal 2000an Barongsai mulai bangkit kembali bersamaan dengan gencarnya perayaan Imlek bagi masyarakat Tiong Hwa di Indonesia, setelah Gus Dur memberi peluang kembali untuk masyarakat Tiong Hwa melakukan tradisi dan budayanya. Hanya saja Barongsai (seperti juga Liang-liong dan Wayang Potehi) terlanjur sekarat dan kurang diminati oleh kaum muda Tiong Hwa.

Di Malang, menurut pengamatan penulis kelompok Barongsai hanya tinggal satu, yakni Seni Barongsai dari Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) atau Klenteng Eng Thiang Kong. Bahkan para pelakunya pun sebagian besar bukan dari kaum muda Tiong Hwa. Bahkan yang cukup mengejutkan salah satu alat tabuhnya juga sudah tidak layak pakai!

[caption id="attachment_351388" align="aligncenter" width="400" caption="Memberi angpaw."]

1424066722886340867
1424066722886340867
[/caption]

Arti lain dari Tari Barongsai.

Secara tradisional Barongsai bukan sekedar peninggalan sejarah masa lalu tetapi juga mempunyai nilai spiritual sebagai kearifan masyarakat Tiong Hwa yang mempercayai kemalangan dan nasib buruk serta keberuntungan dan nasib baik. Naga dilambangkan sebagai binatang utusan dewa yang dapat mengusir segala macam kejahatan, nasib, dan kemalangan yang akan menimpa manusia. Selama melakukan aksinya sang naga ditemani oleh Na Cha seorang pengawal yang selalu memberi makanan berupa sayuran dan buah-buahan.

Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat Tiong Hwa sebagai ucapan syukur kepada para naga bukan lagi memberi sayuran dan buah tetapi dalam bentuk uang yang dibungkus kertas merah dan dikenal sebagai angpaw. Pemberian ini dilakukan setelah para Barongsai melakukan atraksi dengan cara memasukkan angpaw ke dalam mulut naga.

Angpaw diberikan sebagai tanda ucapan syukur atau upah untuk para naga agar mengusir segala kejahatan (tolak bala) yang mungkin akan terjadi di tahun yang akan datang. Dengan memberi angpaw mereka juga mempercayai dan diharapkan bahwa yang mereka berikan akan kembali dalam jumlah yang besar. Maka dari itu tulisan atau huruf dalam bungkus angpaw atau lampion selalu tertulis terbalik.

14240667961661810774
14240667961661810774

[caption id="attachment_351392" align="aligncenter" width="475" caption="Perhatikan simbal-simbal yang telah rusak!"]

14240669772104021534
14240669772104021534
[/caption]

Alat musik dan gerak tari Barongsai.

Alat musik tari Barongsai cukup sederhana, yakni sebuah tambur, sebuah gong (tanpa bulatan kecil), dan tiga buah simbal yang ditabuh keras. Konon, pada masa lalu tetabuhan yang digunakan berupa peralatan dapur.

Gerakan tari Barongsai sederhana sekali hanya melangkah pelan ke depan, kiri, dan kanan sambil menggoyangkan kepala serta pada saat tertentu melompat pada titian kayu hingga tiga tingkat masing-masing setinggi antara 0,8 – 1,2 m dan lompatan penari depan atau bagian kepala naga yang harus berdiri di pundak penari ke dua atau bagian belakang. Gerakan inilah yang paling sulit karena perlu kekuatan untuk kuda-kuda dan keseimbangan yang luar biasa agar tidak jatuh.

Gerakan berdiri di pundak teman atau di atas titian menggambarkan sang naga sedang mengintai musuh atau kejahatan yang akan menyerang.

[caption id="attachment_351390" align="aligncenter" width="350" caption="Tulisan terbalik."]

14240668501098378673
14240668501098378673
[/caption]

[caption id="attachment_351391" align="aligncenter" width="283" caption="Tulisan seharusnya."]

1424066890505239391
1424066890505239391
[/caption]



Nara sumber :

1. Pelaku dan pengurus Seni Barongsai dari TITD Eng Thian Kiong, Malang.

2. Masyarakat dan para tetua Tiong Hwa di Malang.

* Foto-foto dokumen pribadi. Dua gambar terakhir scan dari sebuah poster pemberian rekan guru Bahasa Mandarin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun