Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Balada Pencari Rumput

10 Juli 2015   14:05 Diperbarui: 10 Juli 2015   14:05 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Padang rumput di musim kemarau."]

[/caption]

Petani setiap hari memang selalu bekerja, namun bukan berarti setiap hari pergi ke ladang atau ke sawah. Jika masa perawatan telah selesai atau mendekati masa panen, tanaman bisa ditinggal untuk mengerjakan lainnya. Mencari rumput untuk pakan ternak atau mencari kayu bakar untuk memasak. Mencari kayu bakar sudah jarang dilakukan, sebab bahan bakar elpiji sekarang mudah didapat dan murah dibanding kayu bakar. Kini yang paling sering dilakukan oleh petani adalah mencari rumput dan tanaman perdu untuk pakan ternak.

Para pencari rumput tidak selalu untuk ternak mereka sendiri, kadang dijual kepada pemilik ternak yang enggan mencari rumput sendiri. Harga seikat atau sekeranjang ( dengan diameter 50 – 60 cm ) antara 50 ribu atau 60 ribu rupiah. Tergantung jenisnya. Bila rumput tinggal menyabit di ladang pemilik ternak ongkosnya per ikat atau keranjang hanya 25 ribu rupiah. Jadi satu pikul ongkosnya sekitar 50 ribu rupiah. Harga ini tentunya akan lebih mahal jika dilakukan pada saat musim kemarau, dimana rumput sulit di dapat sekalipun di pedesaan atau pegunungan.


Mencari rumput bukanlah hal yang mudah. Menembus hutan, menyeberangi sungai, mendaki bukit dan gunung, menuruni lembah dan jurang, atau melintasi padang pasir harus dilakukan. Terik matahari dan hujaman badai saat hujan turun dengan dingin yang menusuk tulang harus dirasakan. Belum lagi ancaman sambaran petir lewat sabit yang terselip di keranjang saat hujan di tengah padang. Sengatan lebah dan kalajengking, gigitan semut dan ular, atau tergores duri, bahkan serudukan celeng bukanlah hal yang aneh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun