Namanya cukup keren, Ronaldo. Posturnya cukup gagah untuk ukuran anak seusia sekolah dasar. Namun penampilannya cukup lusuh. Ciri khas anak pinggiran. Selama latihan ujian, terutama saat mengerjakan soal matematika ia tampak gelisah dan bingung. Pada akhirnya ia pun pasrah dan lebih banyak menggambar di kertas buram daripada mengerjakan soal.
Sebagai guru yang bertugas menjaga latihan ujian tersebut, saya berusaha membujuknya agar terus berusaha mengerjakan dan menjawabnya sebisanya dan tidak mengosongi lembar jawaban.
Sepulang sekolah, saya menyempatkan diri bicara dengan dia dan bersama tiga orang temannya. Mereka begitu sopan dan agak malu untuk berbincang secara terbuka. Dua hari kemudian saya menyempatkan diri mengunjungi rumahnya.
Ayah Ronaldo hanyalah seorang tukang parkir di sebuah toko pakaian di depan pasar besar. Namun kini sedang mendekam di tahanan karena kasus hilangnya sebuah sepeda motor yang diparkir di sana. Ibu Ronaldo sendiri berjualan nasi bungkus di depan toko tempat suaminya menjadi tukang parkir. Dulu ia bekerja sebagai PRT di toko tersebut, karena pendapatannya kurang mencukupi ia keluar dan minta ijin kepada pemilik toko untuk berjualan nasi bungkus di emperan toko tersebut.
Pendapatan yang jauh dari mencukupi sejak suaminya ditahan, membuat Ronaldo harus membantu ibunya dengan menjadi tukang parkir di depan toko tersebut pada siang hingga sore hari. Sedang pada pagi hingga siang hari tempat parkirnya dijaga oleh adik ibu Ronaldo.
Malam hari, di saat semua anak belajar atau beristirahat, Ronaldo dan kawan-kawannya senasib justru bermain di pinggiran jalan. Atau terkadang mengamen untuk mendapatkan uang jajan atau untuk menambah uang dapur ibunya.
0 0 0 0 0
[caption id="attachment_297501" align="aligncenter" width="400" caption="Anak-anak lereng Gunung Semeru"]
Keadaan seperti ini, bukan hanya ada pada masyarakat urban di perkotaan tetapi juga di pedesaan yang subur gemah ripah loh jinawi. Kesenjangan ekonomi antara para petani pemilik lahan dan petani penggarap ( buruh tani ) yang cukup timpang menciptakan masyarakat pinggiran yang harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup.
Wilayah pedesaan memang tak banyak member peluang bagi anak-anak untuk bekerja. Tetapi kewajiban membantu perekonomian keluarga memaksa anak-anak harus melupakan pendidikan atau melupakan sekolah. Mencari kayu bakar untuk mengepulkan asap dapur di rumah atau dijual kepada orang lain serta mencari rumput untuk pakan ternak mereka atau dijual.
[caption id="attachment_297500" align="aligncenter" width="400" caption="Beberapa anak kaum pinggiran yang sedikit beruntung diperkenankan belajar di sebuah taman tempat orangtuanya bekerja."]
0 0 0 0 0
Kasus di atas hanyalah salah satu contoh dari 1001 masalah penanganan pendidikan bagi anak-anak pinggiran ( secara ekonomi kurang beruntung ) yang tak mudah ditangani.
Pemerintah daerah lewat Dinas Pendidikan ( Pendidikan Luar Sekolah ) sebenarnya tidak menutup mata pada masalah ini. Hanya saja masalah tenaga yang betul-betul terpanggil untuk bergerak di area ini kurang mumpuni. Demikian juga ada beberapa LSM dan yayasan bergerak di area ini, namun benturan-benturan kepentingan dengan saling mencurigai tujuan setiap lembaga oleh lembaga lain yang tak sepaham sering menjadi hambatan untuk menarik anak-anak yang seharusnya perlu perhatian khusus.
Hanya perjuangan manusia-manusia dewasa yang tak kenal lelah, waktu, pantang menyerah, dan penuh dedikasi serta panggilan hati nurani untuk selalu bergerak dan berusaha mengangkat dan mengajak mereka untuk belajar. Mereka adalah anak-anak yang ingin selalu gembira dan bermain. Belajar dan bermain dengan penuh kegembiraan adalah cara untuk mengangkat harkat mereka menuju masa depan yang cerah. Bekerja bukanlah pilihan mereka!
[caption id="attachment_297502" align="aligncenter" width="400" caption="Tempat ini jelas bukan pilihan mereka!"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H