Yogyakarta macet? Ah, itu hanya di pusat kota di mana ada tempat wisata. Misalnya di sekitar Malioboro, Kota Baru, hingga UGM.
Wilayah Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, dan Sleman masih layak untuk gaya hidup slow living. Setidaknya untuk lima puluh tahun ke depan. Karena masa setelah itu mungkin keruwetan dan hiruk pikuk lalu lintas semakin padat kerena pertambahan penduduk.
Wilayah Kulon Progo yang semakin maju dengan adanya Yogyakarta Internasional Airport, Sleman dengan tempat wisata Gunung Merapi dan Kaliurang, serta Gunung Kidul dengan pantai -pantainya yang indah menawan tetap merupakan tempat yang begitu tenang dan murah.
Beda lagi dengan Bantul yang terkenal dengan Parangtritis, Parangkusumo, Imogiri masih tidak terlalu ramai dari tiga wilayah di atas. Â
Hanya di wilayah Kasihan dan Guwosari sudah banyak kompleks perumahan, klaster, dan villa sehingga harga tanah melambung tinggi hampir 20 - 30 kali lipat. Ini terjadi karena perbukitan  sepanjang Jl. Goa Selarong akan dibangun Universitas Islam Negeri Yogyakarta.
Di daerah Bambang Lipuro, Imogiri, dan Mangiran yang dulu tempat berkuasa Ki Ageng Mangir, hingga Pandansimo masih sepi atau jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Sekalipun telah dibangun Jalan Lintas Selatan mulai Parangtritis hingga jalan Daendels Selatan yang menghubungkan Wates - Purworejo.
Pengalaman penulis tinggal di  wilayah barat Bantul sekitar Goa Selarong dan kini di Jipangan merasakan tenangnya tinggal di Bantul.Â
Bukan hanya sepi dari kepadatan lalulintas tetapi juga jauh dari hidup konsumtif. Jarang toko, warung atau angkringan, tak ada pedagang makanan keliling, selain pedagang sayur.Â
Susahnya jauh dari tetangga. Makanya kalau saat tinggal di Bantul, penulis lebih banyak bersepeda ke pantai selatan, UGM, Imogiri, menyusuri Perbukitan Guwosari atau ke Seminari Kentungan di Kaliurang.Â