Serombongan motor dan mobil bak terbuka melintas di atas jembatan dengan suara menderu-deru memekak telinga.
Beberapa penumpang ada yang mengibar-ngibarkan bendera parpol sambil meneriakkan atau bernyanyi yang mengunggulkan nama salah satu pasangan capres.
Di ujung jembatan dua pengendara motor yang membawa rumput pakan ternak dan pengepul sayur berhenti sejenak untuk memberi kesempatan lewat rombongan yang sedang kampanye tersebut.Â
Jika tidak berhenti bisa saja tongkat bendera yang diayunkan akan menyenggolnya dan membuat terjatuh.
Ketika peserta kampanye mengacungkan jari tanda nomer pasangan capres, kedua pengendara motor hanya menyambut dengan senyuman.
Sedikit agak jauh di bawah jembatan, beberapa penggali pasir dan pemecah batu kali sama sekali tak peduli.
Si bapak terus menggali pasir dan si ibu terus memecahkan batu. Demikian juga yang lainnya.
"Milih sinten, Pak?" tanya saya sambil tersenyum dalam bahasa Jawa.
"Memilih siapa, Pak?"
"Yaa... terserah nanti."
"Sinten sing dados niku sing sae." Si ibu menimpali.
Artinya, siapapun yang jadi itu yang terbaik.
Seorang penggali lainnya nyeletuk, "Sinten kemawon sing dados urip nggih tetep kados ngenten niki."
Artinya, siapapun yang jadi pemimpin hidup ya tetap seperti ini.
Dalam budaya Jawa, perubahan hidup akan terjadi bukan tergantung pada seorang pemimpin belaka tetapi pada kemauan pribadi orang tersebut dan kehendak Sang Illahi.
Pepatah Jawa berbunyi: Adoh ratu cedhak watu.
Artinya, jauh dari pemimpin dekat dengan bebatuan.