Salah satu ciri khusus rumah di desa adalah halamannya luas dengan pepohonan buah-buahan sebagai perindang dan tidak berpagar.
Jika berpagar lebih banyak dengan tanaman perdu seperti bunga wora-wari atau bunga sepatu dan beluntas.
Satu-dua rumah ada yang berpagar tembok namun tingginya sekitar 50-60 cm tanpa pintu.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat perdesaan terbuka pada siapapun. Tidak mudah curiga jika ada orang yang belum dikenal memasuki halamannya. Dan tidak kuatir pula akan kehilangan yang dimilikinya. Misalnya kambing, sapi, ayam, apalagi buah-buahan yang ada di halamannya.
Bila ada rumah berpagar tinggi di perdesaan tentulah penghuninya pendatang dari kota.
Pendatang yang ingin mencari keheningan dan ketenangan suasana desa tapi dipenuhi rasa kuatir. Kuatir ada maling yang membuat kehilangan kekayaannya yang dibawa dari kota. Kuatir ada orang masuk halamannya. Kuatir terganggu privasinya.
Pendatang dari kota banyak yang egois?
Setidaknya yang saya lihat dan perhatikan sebagian begitu. Kecuali mereka yang datang atau kembali pulang ke desa setelah merantau bekerja di kota.
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Ternyata banyak pendatang yang berpijak pada bumi perdesaan namun enggan bergaul dengan masyarakat desa yang lugu dan sederhana.
Jangankan hadir melayat keluarga berdukacita atau ikut gotong royong, diundang kondangan saja mengutus sopir atau pembantunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H