Semakin dekat mangsa kalima atau ke-5 mendung semakin tebal dan perubahan suhu secara drastis kadang terjadi sehingga menyebabkan munculnya badai atau dalam budaya Jawa disebut lesus atau ulur-ulur. Bukan badai El Nino.
Fenomena alam ini dipahami oleh masyarakat tradisional sebagai suatu siklus yang terus berputar.
Bahwa kadang ada perubahan misalnya terjadi hujan di musim kemarau atau masyarakat Jawa menyebut udan salah mangsa adalah sesuatu yang lumrah karena adanya kondisi yang tak terduga. Misalnya meletusnya gunung yang bisa mengubah suhu secara signifikan dan hanya bersifat lokal.
Apakah pranata mangsa masih bisa diterapkan pada masa kini?
Perkembangan jaman, pengetahuan, dan teknologi serta tertatanya sistem irigasi memang mengubah usia tanaman. Pola tanam pun berubah.
Pada masa lalu usia padi sekitar 6 bulan setelah panen padi diganti menanam palawija. Demikian seterusnya.
Pada masa kini usia tanaman termasuk hortikultura semakin pendek. Sehingga dalam setahun bisa panen 2-3 kali. Namun ketergantungan pada irigasi, pupuk, dan pestisida meningkat juga.
Bagi petani tradisional masih menggunakan pranata mangsa dalam penanggalan musim tanam tanpa mengabaikan modernisasi sistem pertanian yang terintegrasi.
Sebagai contoh adalah petani-petani di wilayah dataran tinggi Dieng dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Para petani di perbukitan ini hanya mengandalkan irigasi dari curah hujan.