Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Saat Orang Desa Naik Kendaraan Umum di Jakarta

27 Juli 2023   10:11 Diperbarui: 27 Juli 2023   10:18 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil ojol yang berusaha mendahului bus kota saat menuju tempat Kompasianival 2018. | Dokpri

Entah tanggal berapa yang kuingat hari Sabtu, sekitar jam 13.25.  Dari Hotel Senen dengan grab kami menuju tempat berlangsungnya Kompasianival 2018.
"Bang, ongkosnya sekitar delapan puluh ribu," kata si pemudi.
"Iya ga apa," jawabku santai.
Meluncurlah minibus dengan cepat bagai dokar yang lepas kendali kudanya.
"Kalo tidak begini terjebak macet," kata si pengemudi. Padahal jalanan tak ramai.
"Kita lewat tol ya, Bang. Tambah ongkos sekitar enam puluh ribu." Pinta si pengemudi.
"Iya...," jawabku tenang sambil menyodorkan kartu e-toll.
Si pengemudi kaget ketika kusodorkan kartu e-toll. Mungkin ia menyesal tidak dibayar dengan uang tunai.
Dari aplikasi e-toll  ternyata hanya membayar dua puluh enam ribu.

Bajaj saat mengantar ke hotel. | Dokpri 
Bajaj saat mengantar ke hotel. | Dokpri 
Selesai perhelatan Kompasianival pada jam sebelas malam kami kembali naik grab menuju hotel. Pengemudinya anak muda. Sopan dan lembut. Jalanan sangat macet. Maklum malam Minggu. Ia berusaha mencari celah namun kucegah demi keamanan. Ia menurut.

Sesampai di tujuan kuberi tambahan tiga puluh ribu.
Berkali-kali ia mengungkapkan terimakasih seperti penggarap sawah jika mendapat tips.

0 0 0

Minggu pagi dari hotel kami ke Gereja Katedral dengan naik grab juga. Pengemudinya juga masih muda. Sopan juga.
Saat turun ternyata tarifnya cuma tujuh belas ribu. Ini Jakarta tentu sangat murah. Kubayar tiga puluh ribu. Juga karena kesopanannya.

Selesai mengikuti misa kudus di Katedral, kami mengunjungi seorang teman di biara sebelah Katedral lanjut jalan santai ke Lapangan Banteng yang tak segagah namanya yang terkenal. Selain galaknya petugas keamanan yang membentak saya saat duduk di rerumputan.
Jam sepuluh pagi dari Lapangan Banteng kami naik bajaj kembali ke hotel. Pengemudinya agak tua dengan suara lantang tapi parau menawarkan tarif dua puluh lima ribu untuk jalan biasa tapi memutar. Jika pilih jalan pintas lewat trotoar bayar tarif tiga puluh ribu. Aneh.
Demi keamanan saya pilih jalan biasa. Namun saat tiba tetap kami bayar tiga puluh ribu.
Jam 12 siang check out dan berjalan kaki dari hotel menuju Stasiun Senen yang ada tepat di depan hotel.
Saat menyeberang ke stasiun tetiba ada bajaj berbelok dari lapak-lapak loak di belakang stasiun. Hampir saja menabrak kami.
Si pengemudi marah. Saya lalu mendekati dan berkata, "Sudah ngopi, Bang?"

"Belum! Mau membelikan?" katanya dengan sedikit melotot.
Kusodorkan uang sepuluh ribu yang terselip di saku celana.
"Wah makasih, Bang..." Katanya sambil tersenyum lalu berhenti seenaknya di dekat persimpangan kereta api.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun