Saat jalan kaki santai melewati sebuah jalan di utara Pasar Bantul tampak seorang lansia perempuan menggendong keranjang berisi dua ikat besar daun-daun jati. Seikat kurang lebih ada 20-25 lembar daun jati.
Langkah-langkah kecilnya namun agak cepat menunjukkan kegesitannya.
Ia melemparkan senyum yang manis kala saya menyapanya dengan lembut.
"Kok siyang Bu?" Sengaja saya bertanya demikian karena saat itu sudah jam 8 pagi. Pasar Bantul sudah ramai. Sedang pedagang biasanya sudah menggelar dagangannya sekitar jam 4 pagi.
"Nembe mantun, kantun ngirim," jawabnya singkat sambil melihat kamera ketika saya memotonya. Artinya: baru selesai, tinggal memberikan.Â
Mungkin maksudnya baru selesai mengikat daun jati yang baru dipetiknya. Atau bisa juga baru selesai mengerjakan tugas rumah tangga lalu berangkat ke pasar untuk mengirim daun jati kepada langganannya.
Selain daun pisang, pada masa lalu daun jati digunakan masyarakat untuk bungkus barang belanjaan. Seperti daging, tempe, tahu, bumbu mentah, serta sebagai bungkus untuk membuat tempe kedelai dan tempe benguk.
Bahkan sebagai wadah makanan dalam bentuk pincuk di warung masakan. Masakan yang biasanya diwadahi takir jati adalah gudangan atau urap-urap, lotek, gudeg, mangut lele, jajanan pasar seperti: gerontol, gatot, tiwul, bledhus, ramen, dan cenil.Â
Ada juga rawon diwadahi takir daun jati. Sendok yang digunakan berupa suru atau sendok dari daun pisang. Jika tidak ada suru menggunakan tangan saja atau muluk.
Berhubung daun jati berbulu halus yang dianggap menyimpan debu maka lambat laun daun jati ditinggalkan sebagai wadah makanan karena dianggap kurang higienis. Bahkan sebagai bungkus bumbu mentah juga ditinggalkan dan diganti plastik dan kertas.
Berjumpa dengan ibu penjual daun jati merupakan sebuah kejutan. Ternyata masih ada penjual dan terutama pedagang yang menggunakan daun jati sebagai bungkus dan wadah makanan.
Selesai memoto beliau, kami pun berjalan bersama ke tempat penjual yang memesan daun jati tersebut, yakni seorang pedagang masakan di salah satu sudut barat Pasar Bantul.
Di angkringan tersebut, kami pun menikmati nasi lodeh dengan lauk tempe benguk dan empat butir pete.
Saat menikmati nasi lodeh, kulihat pedagang makanan memberikan dua lembar uang berwarna hijau. Seikat harganya dua puluh ribu rupiah.
Harga yang sangat murah bila dilihat dari jarak rumahnya ke Pasar Bantul.Â
Rumahnya di sekitar Guwosari, Pajangan di Bantul bagian barat memang masih berupa hutan jati.
#jelajah Yogya hari ke 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H