Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Artinya menyerbu tanpa pasukan, memenangkan lawan tanpa merendahkan.
Pepatah Jawa ini bukan sekedar slogan tetapi juga bermakna filosofi yang dalam bagaimana seorang pemimpin bisa mengalahkan lawannya tanpa mengorbankan pasukannya untuk maju berperang. Terhadap lawannya tetap menghargai dengan sikap nguwongake atau bersikap humanis.
Tidak semua orang Jawa termasuk pemimpin tahu dan memahami pepatah ini sekali pun sering berbicara dengan Bahasa Jawa dan berbusana adat Jawa. Â
Bisa jadi seperti kacang ninggal lanjaran yang artinya tumbuhan kacang panjang tidak membutuhkan penyanggah untuk tumbuh sekali pun diperlukan. Maknanya lupa akan istiadat dan ajaran Jawa.
Mengapa ada pemimpin demikian?
Setiap orang tidak selalu mempunyai sikap tegas termasuk pemimpin. Ikut arus pendapat orang lain yang tidak pasti. Pepatah Jawa mengatakan rubuh-rubuh gedhang. Seperti doyongnya pohon pisang yang tidak bisa berdiri tegak karena mengikuti hembusan angin. Tidak punya pendirian.
Demi mendapat dukungan dan pujian serta sikap ambisius akan kekuasaan melupakan filosofi Jawa untuk bersikap rendah hati dan menghargai orang lain.
Jauh di sana negara manca yang tak pernah mengancam kedaulatan negara dipermasalahkan. Caraka regu atau duta olahraga atau tim nasional negara manca yang berusaha membangun persaudaraan ditolak kehadirannya.Â
Bukankah ini sebuah tindakan merendahkan?
Ketika pemimpin yang lain berusaha menciptakan perdamaian ternyata ada pemimpin lebih suka perang. Walau sekedar perang pernyataan. Bukankah kata-kata lebih menyakitkan jika keluar dari lidah yang tajam seperti sembilu. Tajam tak bertepi. Sembilu selalu bermata dua. Melukai yang dianggap lawan tetapi juga melukai kawan dan diri sendiri.