Terbaring sendirian dia di atas tikar lusuh yang berpuluh tahun menemani mengarungi gelombang samudera kehidupan.
Dinginnya rintik gerimis menjadi irama penghantar tidur malam yang selalu ditunggunya untuk memberi mimpi indah.
Setitik air hujan dari atap retak menetes di pipinya dan menjadi tetes air mata bahagia ketika terkenang pahitnya madu masa lalu.
Sambil mendekap bantal jemarinya menari lembut di tembok menggambar seraut wajah kekasihnya yang hanya bayangan di benaknya.
Ketika matanya mulai meredup sebuah tangan menggapai mengajaknya berjalan di atas samudra tak bertepi.
Sejenak di atas awan, ia melihat semua orang terkasih menunduk dengan setetes air mata kesedihan.
Sebuah bisikan lembut dan gandengan tangan halus mengajaknya berjalan di atas awan putih.
Jauh di depannya di bentangan indahnya alam, seraut wajah ayu tersenyum menyambutnya.Â
Dan dia adalah dirinya yang selalu tersenyum bersama anak-anaknya mengarungi samudra hanya dengan sampan kayu kecil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H