Pada masa kini, arang sebagai bahan bakar tungku atau anglo untuk memasak secara tradisional sudah semakin jarang digunakan. Kecuali di desa dan pelosok.Â
Itu pun hanya jenis makanan tertentu yang memasaknya menggunakan bahan bakar arang, misalnya membuat bakmi dan nasi goreng Jawa, sate, kue serabi dan apem tradisional, nasi liwet, serta menggoreng biji kopi.
Memasak dengan bahan bakar arang mempunyai cita rasa gurih dan aroma berbeda dengan bau wangi sangit yang tercipta dari asap yang dikeluarkan dari bara arang.
Melihat pembuatan arang.
Arang terbuat dari potongan-potongan kayu yang dipanggang secara tertutup dengan bara ranting-ranting kayu selama 3-4 hari terus menerus. Lamanya pemanggangan tergantung jenis kayu. Kayu serut dan asam memerlukan waktu selama 4 hari.
Di pelosok desa, pengrajin arang semakin surut bahkan dalam satu kecamatan belum tentu ada pengrajin. Semakin sedikitnya pengguna dan menipisnya kayu sebagai bahan utama tetapi juga pengaruh lingkungan yang tidak mendukung.
Membuat arang selain memerlukan lahan yang cukup luas, asap dari pemanggan kayu juga menyebabkan polusi terutama asap dan aroma yang keluar dari kayu tertentu saat dibakar.
Pengrajin atau pembuat arang lebih banyak di pelosok yang kelebatan hutan rakyatnya masih terjamin. Misalnya di selatan Banyuwangi hingga Yogyakarta.
Salah satu pengrajin arang di Yogyakarta adalah Pak Zumaidi di Pajangan, Bantul. Di sekitar Pajangan sendiri sebenarnya ada tiga pengrajin arang di antaranya di Desa Tegaldowo dan Guwosari.
Pak Zumaidi telah membuat arang lebih kurang selama 15 tahun setelah memutuskan diri bekerja sebagai buruh tani yang hasilnya kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.