Tiduran atau leyeh-leyeh saat sekedar melepas lelah di bawah pohon besar memang sungguh segar.Â
Untuk itulah ditanam pohon-pohon besar di jalanan kota atau taman kota. Tempat istirahat sejenak bagi mereka yang banyak bekerja di luar ruangan.Â
Maka tak heran di bawah pohon besar biasanya banyak pedagang keliling juga mangkal di sana. Bahkan bukan hanya pedagang tetapi juga tukang pijat dan tukang potong rambut. Yang terakhir ini sebutannya potong rambut di DPR alias di bawah pohon rindang.
Tukang potong rambut di DPR pada saat ini boleh dikatakan sudah langka.Â
Bagi kaum milenial hingga gen z mungkin malu eh gengsi. Potong rambut paling tidak di barbershop. Bila perlu di salon dengan tukangnya yang aduhai.
Tapi bagi masyarakat kelas bawah dengan pendapatan pas-pasan tentu tukang potong rambut di DPR masih sangat dibutuhkan sebab ongkosnya sangat murah.
Tukang potong rambut di DPR sekitar Jogja yang paling mudah ditemui ada di alun-alun utara sebelah barat atau trotoar depan keraton.
Sebut saja namanya Pak Samudi, entah siapa nama sebenarnya sebab saat saya ajak bicara .  menjawab terserah disebut siapa saja. Sebab merasa namanya sudah  cukup beken sebagai tukang potong rambut di DPR.
Sebelum berkarya di DPR, Beliau menjadi tukang potong rambut di sebuah kios milik temannya. Berhubung sudah dianggap tidak cekatan dan terampil lagi mengikuti gaya kekinian maka dengan sukarela mengundurkan diri.
Membuka kios memerlukan beaya yang sangat besar dan belum tentu menjamin hadirnya konsumen secara tetap.Â
Membuka di DPR adalah pilihan yang tepat baginya dengan menyasar kaum ekonomi pas-pasan.Â
Berbekal cermin ukuran 25 x 40 cm, 2 buah alat potong masa kini dengan tenaga baterai, sebuah sisir, dan pisau pencukur, kain penutup badan, dan 3 buah kursi plastik. Satu kursi untuk duduk konsumen, satu kursi untuk menaruh perlengkapan, dan satu kursi untuk konsumen lain yang antri.
Berapa ongkosnya?
Kembali Beliau hanya tersenyum saat ditanya tarif. Artinya bisa ditebak, terserah pada konsumen.Â
Ketika ada yang selesai potong terlihat ada yang memberi lima ribu. Ada juga yang memberi delapan ribu.Â
Dalam sehari, paling tidak bisa melayani tiga konsumen. Kalau hujan seharian beda lagi. Seperti halnya pedagang es keliling atau lapak es dawet tak ada konsumen yang datang.
Bagi Pak Samudi sepi atau ramainya konsumen bukan karena hujan atau panas. Tetapi itulah rejeki yang diterima dari Sang Maha Kuasa.Â
Bila belum rejekinya, saat cuaca terang pun belum tentu ada yang potong.
Setidaknya Beliau tetap berusaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H