Sebelum berkarya di DPR, Beliau menjadi tukang potong rambut di sebuah kios milik temannya. Berhubung sudah dianggap tidak cekatan dan terampil lagi mengikuti gaya kekinian maka dengan sukarela mengundurkan diri.
Membuka kios memerlukan beaya yang sangat besar dan belum tentu menjamin hadirnya konsumen secara tetap.Â
Membuka di DPR adalah pilihan yang tepat baginya dengan menyasar kaum ekonomi pas-pasan.Â
Berbekal cermin ukuran 25 x 40 cm, 2 buah alat potong masa kini dengan tenaga baterai, sebuah sisir, dan pisau pencukur, kain penutup badan, dan 3 buah kursi plastik. Satu kursi untuk duduk konsumen, satu kursi untuk menaruh perlengkapan, dan satu kursi untuk konsumen lain yang antri.
Berapa ongkosnya?
Kembali Beliau hanya tersenyum saat ditanya tarif. Artinya bisa ditebak, terserah pada konsumen.Â
Ketika ada yang selesai potong terlihat ada yang memberi lima ribu. Ada juga yang memberi delapan ribu.Â
Dalam sehari, paling tidak bisa melayani tiga konsumen. Kalau hujan seharian beda lagi. Seperti halnya pedagang es keliling atau lapak es dawet tak ada konsumen yang datang.
Bagi Pak Samudi sepi atau ramainya konsumen bukan karena hujan atau panas. Tetapi itulah rejeki yang diterima dari Sang Maha Kuasa.Â
Bila belum rejekinya, saat cuaca terang pun belum tentu ada yang potong.