Sekitar 3-4 tahun terakhir ada pemandangan sedikit berbeda di Malioboro. Menjumpai pedagang keliling yang menawarkan minuman, cemilan khas Yogyakarta, dan cinderamata adalah hal biasa. Ada juga tukang pijet keliling yang menawarkan jasa pada wisatawan yang kecapaian setelah jalan-jalan yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Juga memijat para pedagang yang ada di sekitar Pasar Beringharjo. Tarifnya antara 20-25 ribu rupiah saja. Cukup murah karena yang dipijat hanya kaki dan pundak saja.
Pemandangan yang berbeda adalah kehadiran tukang foto di beberapa titik, terutama di sekitar Titik Nol, Bank Indonesia, Benteng Verdeburg, dan depan Museum Sonobudoyo I.
Awalnya, penulis mengira mereka sedang melakukan sesi pemotretan pra nikah untuk calon pengantin. Setelah beberapa kali melihat di tempat berbeda dan sempat berbincang dengan tukang foto ternyata mereka adalah penjual jasa foto lengkap dengan penyewaan pakaian adat Yogyakarta.
Berbekal dengan kamera DSLR sederhana tanpa perlengkapan lain sehari bisa melakukan pemotretan untuk tiga pasangan muda. Tiap pasangan minimal foto 20 kali jepretan seharga 5 ribu rupiah perjepret artinya sekali sesi seharga 100 ribu. Untuk sewa pakaian seharga 25 ribu per orang atau 50 ribu per pasang. Jadi setiap pasangan minimal membayar seharga 150 ribu rupiah.
Apa perlu tata rias wajah?
Jika untuk foto pra nikah tentu saja ada tata rias wajah. Tentunya harga pemotretan berbeda. Apalagi si tukang foto harus pula membawa perlengkapan tambahan untuk hasil maksimal.
Hidup harus kreatif. Dunia fotografi yang kini dikuasai generasi z melalui teknologi telepon pintar telah memukul jasa tukang foto termasuk usaha percetakan foto. Laboratorium untuk edit foto kini bisa di tangan setiap orang.
Hanya mereka yang kreatif bisa mempertahankan dan mengembangkan.
Mau foto di Malioboro dengan pakaian adat Yogyakarta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H