Setelah wayang, batik, dan keris disahkan UNESCO sebagai warisan tak benda dari Nusantara, kini kebaya sedang diperjuangkan pengakuannya.
Bagaimana sambutan masyarakat?
Bagi masyarakat yang terbiasa memakai kebaya dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang biasa. Misalnya masyarakat Suku Tengger yang tak pernah lepas dari jarit, kebaya, dan sarung. Apalagi saat mengikuti ritual di pura bagi yang beragama Hindu dan di sanggar pasembahan bagi yang beragama Jawa Sanyata (Buda Jawa).Â
Hal ini juga dilakukan oleh kaum perempuan Bali dalam menjalankan ibadah di pura setiap hari. Serta dalam setiap ritual keagamaan dan budaya.Â
Demikian juga kaum perempuan dalam komunitas penghayat kepercayaan atau Kejawen. Juga bagi mereka yang ulet menjaga kelestarian seni tradisional Jawa, seperti pesinden, wiyaga atau pengrawit perempuan atau penabuh gamelan, pemain ludruk, dan ketoprak. Kelompok yang terakhir ini memang tidak selalu memakai kebaya dalam keseharian sebab mereka juga ada yang bekerja dimana wajib memakai seragam sesuai aturan tempat kerja.
Pada umumnya masyarakat menyambut gembira dan mendukung upaya Kebaya Goes to UNESCO. Dukungan bukan hanya dengan kampanye verbal tetapi mulai memakai kebaya dalam kegiatan kemasyarakatan.
Beberapa contoh di antaranya:
* Ibu-ibu penggerak PKK di Desa Sekarpuro, kabupaten Malang yang dalam tugas pelayanan Bulan Imunisasi Anak Nasional 2022 mulai memakai kebaya.
* Kelompok karawitan Dirasturi - Ngudi Laras Swara Paroki Ratu Rosari, Malang yang wajib mengenakan kebaya saat mengiringi perayaan misa kudus di gereja.