Nama panggilannya Panca, secara akademis termasuk anak yang pandai. Keunikannya sedikit jail suka menggoda teman bahkan gurunya dengan segala tingkahnya yang konyol. Jika yang dijahili sedang serius tentu saja bisa marah lalu menegur Panca, si jahil ini. Uniknya, bila ditegur maka Panca merasa tersinggung dan berbalik marah.
Kata-kata spontan pun keluar membuat tertegun yang mendengar. " Digitukan saja marah kayak papaku! "
Atau ketika diingatkan guru ia menjawab, "Jangan marah Pak. Seperti Bu Asrama saja..."
Dari perbincangan dari hati ke hati, ternyata Panca hidup dalam kungkungan yang tidak ia kehendaki.
Papanya seorang TKI dan menikah lagi di negara tempat bekerja sebab istri pertama pergi tanpa pamit. Kejadian ini menimpa Panca saat masih kelas 2 SD.
Selanjutnya, Panca diasramakan pada sebuah komunitas yang menurut penulis hanyalah penitipan anak. Tempat anak bisa tidur, makan, mandi, atau belajar di sebuah ruangan. Tak ada psikolog, tak pembimbing, apalagi pengasuh dengan kasih sayang. Bahkan kata-kata tak pantas bisa keluar dari 'ibu asrama' jika papanya terlambat membayar uang asrama.
Keadaan seperti inilah yang membuat Panca menjadi liar. Mengganggu teman dan guru untuk melepas segala tekanan yang dialami. Lebih dari itu, bahkan pernah melakukan masturbasi di depan teman-temannya saat istirahat.
Beda lagi dengan kisah Alex yang masih kelas 3 SD. Ketika ikut pelajaran olahraga ia lebih banyak pasif dan hanya duduk-duduk dengan sedakep di pinggir lapangan  menangis kecil menahan sakit.
Di dalam kelas pun tak jauh berbeda. Kesedihan sering tergambar di wajahnya yang seharusnya ceria.
Suatu ketika, Alex pun cerita tentang keadaannya sambil menunjukkan bilur-bilut merah di punggungnya akibat sabetan. Entah sabuk, kemucing, atau sapu. Ada bilur yang baru berumur satu hari ada pula yang mengering berarti sudah berumur beberapa hari. Artinya, Alex mengalami kekerasan dalam keluarga sudah cukup lama.