Buyut kami, sebut saja sebagai Nyai Munah. Pembaca tentu tahu arti sebutan 'nyai' bagi seorang wanita Jawa. Nyai adalah sebutan bagi wanita yang dinikahi oleh orang Belanda yang kala itu menjajah negeri kita.Â
Perkawinan ini terjadi karena istri pertama dari orang Belanda ini kembali ke negerinya sebab di Indonesia sedang terjadi perjuangan yang sangat membahayakan bagi keluarganya. Sebagai seorang pegawai tinggi sebuah jawatan, orang Belanda ini - sebut saja: Tuan More - harus tetap bekerja menjalankan tugasnya dan tentu saja menabung untuk kembali ke Belanda.
Untuk mengurus rumahnya termasuk memenuhi kebutuhan biologis, Tuan More menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Munah.
Perkawinan Tuan More dan Nyai Munah dikaruniai dua orang putra. Sebut saja Darman dan Parmin. Keduanya berwajah indo atau blasteran tetapi mempunyai karakter berbeda.Â
Darman lebih bersikap 'kemlondo' alias merasa dirinya sebagai orang Belanda. Akibatnya sangat fatal, mati muda ditembak oleh pejuang kemerdekaan.Â
Peristiwa ini membuat Nyai Munah menjadi sedikit owah alias terganggu pikirannya. Ditambah lagi setelah rumah besar warisan Tuan More diambil alih pemerintah setelah adanya nasionalisasi semua perusahaan milik Belanda beberapa tahun kemudian.Â
Beruntung beliau masih bisa menceritakan masa lalunya pada saya, buyut kesayangannya hingga akhir hayatnya.
Putra kedua, Tuan More dan Nyai Munah yang bernama Parmin, sekali pun berwajah Londo tetep nJawani sehingga aman-aman saja dan menjadi pegawai PTT - Pos Telepon Telegram. Selain itu Parmin menjadi pemain ludruk yakni sebuah seni drama tradisional di Jawa Timur. Hanya saja, ludruknya buyar setelah peristiwa ontran-ontran 1965.
Parmin mempunyai dua orang anak. Salah satu anaknya menurunkan enam anak di antaranya saya.
Syukurlah wajah saya tidak kemlondo hanya kulit sedikit putih. Tapi lima adik kami terutama yang putri-putri berwajah berbau Londo. Demikian juga salah satu anak kami berwajah blasteran Londo dan kini tinggal di Austria dan kadang di AS.