"Oo..., Nak Ukik. Sami rahayu...?"
Itulah sapaan ketika saya bertemu seseorang yang pantas memanggil saya sebagai seorang anak.
Saya pun menjawab:
" Pangestunipun..."
Kemudian kami berjabatan tangan sambil saling sedikit membungkukkan badan tanda saling menghormati.
Demikian juga bila saya bertemu dengan seseorang yang saya kenal apalagi kerabat dan lama tak berjumpa, saya akan menyapa:
"Bu...(Pak), sami wilujeng?"
Mereka pun menjawab:
"Pangestunipun..."
Setelah saling sapa kemudian kami saling sedikit membungkuk badan dan saling berpamitan dengan mengucapkan: Â "Mangga..." Artinya: mari....
Sapaan sami rahayu dan sami wilujeng mempunyai arti yang sama 'apa kabar'. Lebih dari itu sapaan ini bukan sekedar basa-basi tetapi berharap keadaan kita selalu sehat sejahtera setelah sekian lama tidak berjumpa.
Jawaban 'pangestunipun' mempunyai makna 'terimakasih kami atas doanya kami sehat selalu'.
Sapa dan salam seperti ini sudah jarang terlihat apalagi dilakukan di masyarakat umum sekali pun pada masyarakat yang mayoritas warganya orang Jawa yang seharusnya menjunjung tinggi budaya Jawa.
Apakah para orangtua dan para sepuh tidak pernah memberi teladan?
Pergaulan sekarang lebih luas dengan masyarakat yang heterogen, suatu wilayah bukan hanya dihuni oleh masyarakat tertentu. Bisa juga karena pengaruh budaya luar ketika harus mengembara atau bekerja di tempat lain sehingga lupa budaya sendiri.
Pada masa kini, yang sering terlihat sapaan dan salam seperti:
" Pak...(atau Bu, Mbah, Pakdhe, Paklik), mangga..."Â
Sambil tersenyum dengan sedikit menundukkan kepala bukan menundukkan badan lagi.