Seperti diketahui hubungan kekerabatan di perdesaan apalagi di pelosok, sangat erat sekali. Sebab masih ada hubungan darah sekali pun sudah tingkat empat ke bawah dan ke samping. Dalam budaya Jawa dikenal dengan sebutan 'tunggal buyut'.
Mulai dari cicit, cucu, anak, orangtua, kakek-nenek, dan buyut. Tak heran jika hari raya lebaran suasana desa menjadi begitu ramai saling anjangsana. Demikian juga pada saat punya hajatan.
Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang demikian erat, maka ketika saling anjangsana biasanya cara berpakaian pun sederhana seperti hari-hari biasa.
Ada satu hal yang unik ketika anjangsana, biasanya yang mengunjungi kerabat yang lain adalah ibu dan anaknya terlebih dahulu. Ayah di rumah saja agar bila ada tamu yang datang ada yang menerima. Sore harinya atau saat ibu dan anak sudah datang, maka ayah yang beranjangsana. Kecuali jika di rumah ada kakek-nenek, maka ayah, ibu, dan anak-anaknya beranjangsana dulu. Selanjutnya kakek-nenek.
Tak heran saat beranjangsana waktunya tidak terlalu lama. Apalagi dengan obrol sana-sini tanya ini itu seperti yang dikuatirkan banyak perantau yang terpengaruh kehidupan di luar desa.
Setelah memberi salam, berjabat tangan dan saling mengucapkan mohon maaf lahir batin lalu duduk sebentar. Mencicipi satu kue dan seseruputan minum lalu mohon pamit untuk melanjutkan anjangsana ke kerabat lainnya.
Esok harinya, tuan rumah yang dikunjungi berganti mengunjungi. Di sinilah kekerabatan antar keluarga dan warga semakin terasa dan erat. Tak heran keramaian lebaran di pelosok desa terasa lebih bermakna sehingga membuat para perantau ingin mudik untuk merasakan kehidupan seperti ini.