Salah satu tujuan saya gowes dengan jajah desa milang kori, atau jelajah dari desa ke desa adalah untuk mengetahui dan mengenal sejarah suatu desa.
Selama ini, sejarah desa jarang diketahui oleh masyarakat setempat. Keengganan anak cucu mendengarkan dan mencatat kisah tutur tinular berdirinya suatu desa dari para sesepuh menjadi semakin suramnya sejarah desa.
Hanya masyarakat pelosok yang masih mempertahankan untuk mengenal sejarah desa lewat penuturan sesepuh desa dalam sebuah ritual setiap tahun. Biasanya pada bulan Suro sebagai tahun baru Jawa.
Ritual ini biasanya diadakan di tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Misalnya sumber atau mata air, makam atau punden seorang tokoh, dan sebuah pohon besar yang dianggap tempat pertama kali pendiri desa membabat hutan.
Hanya saja acara ini semakin jarang dilakukan sebab ada yang menganggap sebagai klenik dan sejenisnya.
Selain mengetahui sejarah desa, saya juga mengetahui adanya situs-situs sejarah yang masih terabaikan.
Selama empat tahun terakhir paling tidak ada lima situs yang saya ketahui dari lima desa. Pada awalnya situs-situs ini cukup mendapat perhatian dari tokoh-tokoh dan masyarakat setempat. Selanjutnya mulai terabaikan karena alasan di atas.
Salah satu situs yang kini terabaikan berada sekitar 27 km arah tenggara dari tempat tinggal saya di Malang.
Sengaja tidak saya sebutkan nama tempatnya untuk menghindari hilangnya benda purbakala. Apalagi tempatnya cukup strategis di pinggir jalan raya sekali pun berada di pelosok.
Selama ini memang ada beberapa pemburu benda kuna yang pernah saya jumpai dan sempat berbincang dengan mereka. Bahkan sempat foto bersama. Pemburu ini tidak berani saya sebut pencuri atau apalah namanya, sebab mereka berkeyakinan belum ada pemiliknya.