Kawin paksa selama ini pandangan kita pada seseorang gadis yang dijodohkan oleh orangtuanya dengan seorang lelaki pilihan orangtuanya. Apa pun status pria tersebut. Tua, kaya, sudah beristri lebih dari dua atau sudah mempunyai anak lima.
Ternyata kawin paksa juga berlaku bagi kaum pria terutama yang masih lajang dalam arti belum pernah menikah. Apakah ini masih berlaku di suatu daerah tertentu yang adat istiadatnya begitu kolot atau sudah luntur sama sekali. Perlu sebuah pengamatan langsung di suatu daerah yang dulu pernah memiliki adat seperti ini.
Inilah kisah kawin paksa seorang pemuda dengan gadis desa.
Seminggu setelah lulus sekolah keguruan, kami bertiga saya, Yebe, dan Giso yang bersahabat berjanji untuk saling mengunjungi tempat asal kami masing-masing yang saling berjauhan dengan alasan bila sudah kuliah atau bekerja sulit bisa bertemu lagi. Juga mengunjungi teman-teman yang telah sekolah.
Setelah saling berkunjung ke desa kami masing-masing, tibalah waktunya mengunjungi salah satu kembang sekolah yang rumahnya di lereng Gunung Semeru yang saat ini bergemuruh. Sebut saja namanya Kembang Kantil.
Saat perpisahan sekolah, Kembang Kantil sudah diberitahu oleh Giso (sebut saja demikian) bahwa pada hari Selasa Kliwon kami bertiga akan berkunjung.
Seperti kesepakatan, pada Selasa Kliwon kami datang ke sana dengan sambutan ala desa yang sederhana. Sapaan dan senyum orang desa bukan dari keluarga Kembang Kantil saja tetapi juga dari kerabat dan tetangga.
Tiga jam menikmati indahnya lereng Semeru dengan berjalan-jalan di tepi hutan dan Kali Bening sungguh luar biasa. Apalagi saat menikmati sajian makan siang sayur daun salam dan so dengan sambel terasi dan lauk tempe benguk.
Selesai menyantap sajian, Kembang Kantil masuk ke dalam rumah dan kini yang menemui kami emak dan bapak Kembang Kantil. Dalam bahasa Jawa ngoko (bahasa Jawa khusus bagi orangtua kepada anak muda), si bapak intinya mengucapkan terima kasih atas kunjungannya ke rumahnya yang sederhana. Pemakaian bahasa ngoko sedikit banyak membuat saya terkejut dan heran, sebab biasanya tamu sekali pun masih muda akan diajak bicara dengan basa karma madya (Jawa yang cukup halus) sebagai tanda penghormatan.
Keterkejutan dan keheranan saya mulai terkuat ketika tiba-tiba bapaknya Kembang Kantil bertanya, "Sapa sing sabenere dhemen karo Kembang Kantil?" Artinya, siapa yang sebenarnya mencintai Kembang Kantil.