Bicara kesejahteraan guru, sering kali pandangan mengarah hanya pada guru honor, guru tidak tetap, guru kontrak atau apalah namanya yang ada di sekolah negeri. Padahal, kurangnya kesejahteraan guru juga pada guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta milik yayasan pendidikan, sosial, dan agama.
Bukan pula hanya pada sekolah-sekolah yang ada di pelosok, perdesaan, perkampungan, tetapi juga di tengah kota besar. Seperti di Malang, Surabaya, Jogja, Jember, Denpasar, Bekasi, Palembang, Medan, Pontianak, dan Semarang.
Guru yang harus digugu dan ditiru atau bisa menjadi teladan dalam tutur kata dan tindakan selalu disorot dan dituntut masyarakat. Ilmu pengetahuan harus mumpuni. Iman dan taqwa harus dihayati dan diamalkan. Sering dijepit oleh sistem dan keadaan.
Pada masa kini bukan hanya itu, tetapi juga harus tampil cakep dan modis. Bukan sekedar berwibawa dengan memakai baju model safari yang kadang membuat siswa enggan dekat.
Penampilan semacam ini lebih banyak dituntut oleh sekolah-sekolah swasta di kota besar dengan siswa dari keluarga dengan ekonomi kelas menengah dan atas. Termasuk sekolah-sekolah yang siswanya kebanyakan dari kaum ekspatriat.
Tampil cakep, modis, dan murah senyum tak selalu menggambarkan kesejahteraan sesungguhnya. Banyak guru swasta yang gajinya di bawah upah minimum.
Gedung sekolah yang besar, megah, bersih, dan indah tak selalu menggambarkan keindahan nasib gurunya. Banyak sekolah dengan jumlah siswa sedikit yang berdampak pada sedikitnya pemasukan uang SPP sehingga pas-pasan untuk beaya operasional. Memang ada dana BOS tetapi tuntutan penggunaan yang transparan sesuai dengan aturan tetap saja sulit menutup pengeluaran yang besar.