Melihat petani membawa sprayer untuk menyemprotkan insektisida, pestisida, atau herbisida adalah hal yang biasa di perdesaan. Tetapi jika yang membawa petani muda wanita tentu sedikit unik. Sebab petani wanita lebih banyak bertugas menyiangi, memetik, dan mengikat sayur. Apalagi petani wanita muda. Tentu lebih banyak bekerja di dapur untuk menyiapkan makanan untuk mereka yang sedang bekerja di sawah.
Siang tadi, saya cukup kaget melihat wanita muda meninggalkan sawahnya dengan menggendong sprayer.
"Tumben....," seruku sambil memotonya.
"Biar belajar jadi petani." Ibunya menjawab dengan tersenyum.
Ayahnya pun menimpali,"Daripada menganggur di rumah lebih baik membantu suaminya."
Pada masa kini, kaum muda memang sudah jarang yang berkecimpung di dunia pertanian tradisional. Apalagi yang telah mengenyam pendidikan. Bekerja di mini market atau di plaza lebih menarik. Syukur jika bisa menjadi pegawai negeri.
Namun bekerja di mini market, pertokoan, atau pabrik dengan gaji standar UMR tentu akan habis untuk batas minimal kebutuhan belum lagi transportasi. Beralih profesi adalah pilihan. Seperti yang dilakukan oleh Hartati, sebut saja demikian, wanita muda di Desa Banjarejo Malang. Pilihan yang berbeda dari kebanyakan kaum muda, menjadi petani.
Langit biru yang cerah tanpa awan membuat cuaca sedikit gerah sekali pun angin berhembus lembut. Jam baru menunjukkan angka sepuluh ketika ayahnya menjemput mengajak pulang.
Hijaunya dua petak kangkung menyegarkan mata semakin membuat gembira ayah dan ibunya Hartati yang merasa senang dan bangga putrinya mau menjadi petani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H