Belajar dari ketenangan wasit dalam perhelatan Euro 2020
The Untouchable Man adalah sebutan wasit yang pernah diungkapkan oleh Sumohadi Marsis kolumnis sepakbola kawakan di tabloid Bola pada awalan 80an.
Ungkapan ini ditulis berdasarkan pengamatan Beliau melihat secara langsung pertandingan Galatama atau Liga Sepakbola Utama yang sering menyajikan olahraga tambahan yang amat brutal oleh pemain-pemain sepakbola.
Kala pertandingan berlangsung jika keputusan wasit tidak sesuai dengan keinginan pemain maka pemain tak segan-segan  membentak, memaki, mendorong, memukul, meninju, dan berbagai tindakan yang menyakiti.
Tindakan menyakiti secara verbal maupun fisik ini bukan hanya satu dua kali tapi puluhan kali. Bukan dilakukan oleh pemain saja tetapi juga official dan pelatih serta pendukung. Bukan pula dilakukan di lapangan saat pertandingan berlangsung tetapi juga di luar lapangan saat pertandingan sudah usai. Baik di ruang ganti wasit tetapi di depan mobil pengantar wasit dan tempat menginap. Miris.
Banyak faktor membuat kejadian ini sering terjadi. Masih rendahnya pengetahuan tentang aturan-aturan yang dibuat oleh FIFA oleh wasit, pemain, pelatih, official, menejer, dan pemilik klub sehingga sering terjadi perselisihan. Perdebatan sebelum jadwal pertandingan dimulai dan sesudah selesai masih dimaklumi demi lancarnya sebuah kompetisi. Namun kala pertandingan berlangsung sehingga waktu menjadi molor dan menimbulkan perkelahian yang dapat memicu keributan antar pendukung baik di dalam maupun di luar stadion.
Kedua, ketidakberhasilan klub membentuk sebuah tim yang punya karakter positif dalam membangun sebuah tim profesional selain mengharapkan kemenangan dengan mengabaikan profesionalisme. Memang harus diakui adanya pemain-pemain berkelas yang tenang dan profesional dan bisa membawa tim bermain bagus tanpa membuat atau memancing keributan dengan menghargai pemain lawan dan wasit. Sebut saja di antaranya Henry Kiswanto dan Ronny Patinasarani.
Apa yang disebut Sumohadi Marsis bahwa wasit merupakan sosok The Untouchable Man, penulis kurang tahu apakah ini sebuah aturan dari FIFA atau interprestasi Beliau sendiri. Hanya berdasarkan pengalaman penulis menjadi wasit, Â salah satu aturan dalam memimpin pertandingan sepakbola keputusan wasit adalah mutlak. Jika pemain melakukan protes (dalam tulisan sebelumnya, penulis menyebut pemain berusaha mempengaruhi keputusan wasit)Â maka wasit berhak tidak menjawab.
Di sinilah sering tidak dimengerti oleh mereka yang berkecimpung terutama yang di lapangan. Lalu berbuat kasar secara verbal maupun fisik.
Melihat seluruh pagelaran Euro 2020 kepemimpinan wasit dan kedewasaan pemain, official, menejer, dan penonton yang begitu profesional tentu bisa menjadi contoh yang baik. Bukan hanya memuji mereka tetapi juga meniru mereka. Beberapa kejadian yang menarik untuk dicermati di antaranya diving yang dilakukan Sterling yang menyebabkan Denmark tersingkir oleh Inggris di semifinal. Wasit begitu tenang untuk mengambil keputusan yang tepat dan adil.
Pemain Denmark mempertanyakan keputusan wasit tanpa sebuah tekanan verbal dan menyentuh tubuh apalagi mendorong. Ketika keputusan wasit sesuai dengan VAR, pemain Denmark pun menerima penuh legowo tak ada nada marah. Wasit betul-betul The Untouchable Man.