Potong rambut sendiri itulah niat saya sejak pensiun apalagi sejak pandemi Covid-19 merebak lagi. Alasannya supaya tidak tertular Covid-19. Maka dua bulan lalu pesan alat pemotong rambut yang harganya tak lebih dari dua ratus ribu rupiah.
Suatu hari saat istirahat di sawah, di dalam gubug yang ada aliran listriknya untuk pompa air, saya pun minta potong rambut pada istri. Sial. Belum separuh rambut dipotong, secara cepat angin berhembus membawa mendung. Celakanya angin mengajak guntur ikut serta menyapa kami. Takut petir ikut serta, potong rambut tidak kami lanjutkan. Mati disambar petir bukan pilihan kami. Lalu pulang dan dilanjutkan di rumah. Ternyata memotong rambut sendiri memang agak susah walau juga dibantu istri. Potong rambut sendiri memang gampang-gampang susah. Tapi jika kurang hati-hati potongan juga tidak rapi.
Kemarin lusa, setelah panen sawi, kembali saya minta istri memotong rambut saya yang sudah tipis alias hampir botak. Sedang asyik-asyiknya dipotong dengan hati-hati, salah satu teman petani lewat dan nyeletuk berkata,"Jangan pelit-pelit wong ongkos potong rambut hanya sepuluh ribu saja kok ga mau potong di Cak Mus."
Mendengar celetukan setengah menyindir itu, saya tak jadi potong rambut sendiri. Kalau dipikir memang lebih baik tidak potong rambut sendiri. Selain lebih rapi, toh ongkosnya murah serta memberi nafkah orang lain.
Sebagai orang desa, saya memang tak pernah potong rambut di barber shop apalagi di salon. Kecuali saat masih menjadi guru sering potong rambut di barber shop dan kadang di salon kecantikan sambil menemani istri yang mau facial.
Potong rambut di tukang potong rambut bawah pohon punya keunikan sendiri. Isis atau sejuk dengan semilirnya angin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H