Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teladan Semut dalam Mencari Sesuap Nasi

11 Maret 2021   11:01 Diperbarui: 11 Maret 2021   12:08 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ora obah ora mamah. Sebuah pepatah Jawa yang artinya tidak bergerak (bekerja) tidak akan makan. Memang begitulah yang harus dilakukan untuk mendapat uang yang tentunya membeli makanan dan kebutuhan pokok lainnya.

Sambil duduk dekat semak belukar bawah di bawah rumpun bambu, kulihat seekor semut berjalan sendirian di pucuk sebatang daun pakis yang biasanya untuk sayur. Semut yang biasanya hidup dalam kelompok atau koloni, kini ia sendirian berkelana mendapat tugas dari komunitasnya mencari sumber makanan baru. Tak peduli bahaya mengancam dari predator yang siap melahapnya jika tidak hati-hati. Sebuah perjuangan yang harus dijalani dengan sepenuh hati.

Di dekat pohon pakis, seekor laba-laba dengan tenang sedang melahap seekor kupu-kupu yang terperangkap jaringnya. Rupanya, baru pagi ini ia mendapat santapan setelah sekian hari hanya menunggu.

Hanya sekitar satu meter dari jaring laba-laba, seekor katak hijau jongkok  dengan tenang tak mengedipkan matanya sama sekali di sebuah daun puring liar. Tanpa membuat sebuah gerakan yang dapat mengejutkannya, ia kupotret beberapa kali. Seekor belalang kecil yang tadinya juga duduk diam di daun bebandotan terkejut melihat kedatangan saya lalu spontan melompat di depan sang katak yang langsung menangkap dengan mulutnya yang lebar. Menyantapnya dengan tenang, lalu jongkok diam lagi dalam sunyinya alam.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Hanya lima meter dari tempatku duduk memperhatikan binatang-binatang ini, ada tiga wanita tua sedang berjuang keras mencari nafkah mencari pasir dan batu di Kali Amprong. Wajah-wajah mereka yang legam dan keriput menunjukkan ketegaran luar biasa. Senyum manis tersungging di bibir mereka kala saya mengajak berbincang.
"Menawi mboten ngenten, nggih mboten nedha. Wong tegal sabin mboten nggadhah." Jawabnya ketika kutanya mengapa masih bekerja keras di saat harusnya istirahat. Artinya: kalau tidak begini, ya tidak makan. Sawah dan kebun juga tidak punya.

Sebuah jawaban singkat namun penuh arti. Seorang wanita sekali pun sudah lanjut usia haruslah tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi sebagai seseorang yang tak punya simpanan karena sebelumnya hanya seorang buruh tani.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Tok...tok..tok..tak...prak... suara batu pecah berkeping-keping dipukul palu seberat 3 kg oleh tangan jenjang nan kuat seorang wanita lanjut usia. Lebih dari 20 tahun mereka bekerja seperti ini di Kali Amprong desa Wringin Anom sekitar 23 km dari rumah kami. Sebuah desa gemah ripah loh jinawi di lereng barat Gunung Semeru dan Bromo. Namun tak semua warganya memiliki sawah, tetapi alam tetaplah memberi kehidupan bagi siapa pun yang mau bekerja. Seperti Mbah Supiah, Bik Rutinah, dan sekitar 7 wanita lainnya yang bekerja keras mencari pasir dan batu. Dalam sehari antara jam 7 hingga 11, rerata mereka bisa mendapat setengah meter kubik pasir hitam yang berharga hanya 40 ribu.

Dari pasir-pasir yang digali mereka bisa memperoleh sekitar satu meter kubik batu setiap satu bulan penggalian. Untuk memecah batu, memerlukan waktu sekitar satu bulan juga. Artinya, untuk menghasilkan batu pecah atau koral memerlukan waktu dua bulan. Setiap satu meter kubik dibeli oleh pengepul seharga Rp 1 juta. Jadi, mereka setiap bulan hanya mendapat 500 ribu saja. Sebuah perjuangan yang luar biasa. Sedang untuk pasir selama satu bulan, jika beruntung bisa mendapat 10 meter kubik. Jika beruntung, sebab pasir yang sudah didapat dan ditaruh dekat tebing kadang hanyut terbawa air hujan.  

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Jam 10 pagi, angin dari lereng Semeru menghembus lembut membawa mendung dan udara dingin. Kodok di tepian Kali Amprong mulai ada yang bernyanyi diiringi gesekan biola sayap-sayap belalang  serta alunan gesekan batang bambu-bambu petung yang semakin mendayu dengan gemerciknya air sungai yang menabuh bebatuan.

"Badhe jawah, mangga wangsul..." Artinya: mau hujan, mari pulang. Kami pun pulang. 

Di atas tebing, suami mereka yang juga pencari pasir dan batu, sudah berkemas menunggu istri mereka yang demikian tangguh.  Seperti semut mereka bekerja tanpa rasa takut dan kuatir demi kehidupan mereka bersama keluarganya. Ketika melangkah meninggalkan tepian Kali Amprong, di semak belukar tadi, kulihat sang katak sudah tak ada lagi. Mungkin kembali ke liangnya atau mungkin disantap ular. Laba-laba bersembunyi di balik daun, menghindari gerimis yang mulai turun. Di bawah jaring laba-laba, kulihat segerombolan semut sedang berpesta melahap bangkai kupu-kupu sisa santapan laba-laba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun