Kegundahan hati Dewi Sekartaji semakin memuncak, kala mendengar ucapan salah satu inang pengasuhnya yang membantu melulur dirinya setiap tiga hari sekali agar tubuhnya tetap halus mulus.
“Jadi kamu naksir suamiku Panji Asmarabangun?” Tanya Dewi Sekartaji.
“Ah ampun…. enggak Gusti, saya cuma tertarik…. Tapi yang tertarik kan bukan saya saja. Mereka juga tertari….,” kata inang yang bernama Paiti dengan menunduk malu sambil menunjuk ke teman-temannya sesama inang.
Mendengar ucapan Paiti, sontak saja para inang menjawab bersamaan, “Enak saja asal nuding….”
“Halaaah kalau kita mandi di sungai kamu semua cerita begitu kok...” Bela Paiti takut dihukum Dewi Sekartaji.
“Dia bohong Gusti…. Dia pernah cerita pada kami kenapa kok hanya melulur Gusti saja padahal dia pingin juga melulur Gusti Panji Asmarabangun yang ganteng.” Saut salah satu inang yang lain.
“Sudah…sudah…aku tahu kok kamu kesengsem juga pada suamiku, hanya malu mengakui.” Kata Dewi Sekartaji lembut yang membuat para inang tertunduk malu.
“Sekarang kita semua tidur….esok pagi kita keluar dari keraton dengan memakai baju lusuh jajah desa milangkori mencari den mas Panji Asmarabangun ke seluruh negeri Jenggala dan Kadhiri.
Purnamasidhi sedikit di atas Gunung Kelud tampak temaram seakan tahu akan kegelisahan Dewi Sekartaji yang ditinggal Panji Asmarabangun. Dalam keheningan malam di sudut keputren, Dewi Sekartaji bersimpuh sembah sujud menyampaikan puja-puji pada para dewata agar negeri Jenggala dan Kadhiri dapat disatukan kembali menjadi satu kerajaan yang kuat dan makmur lewat perkawinannya dengan Panji Asmarabangun. Namun, kini ia sangat sedih dengan kepergian suaminya yang entah kemana. Apakah Asmarabangun tak setuju dengan penyatuan ini dan ada wanita lain yang lebih memikat hatinya? Bukankah sebagai putri raja dan seorang permasuri, Dewi Sekartaji selalu merawat diri dengan luluran dan selalu minum jamu empon-empon untuk mempercantik diri serta ikut terlibat dalam membangun negeri?
Dewi Sekartaji sedikit menitik airmata kala ia mengucapkan doa: