Suasana wilayah bukit Buring di timur kota Malang yang berupa perkebunan dan hutan rakyat yang hijau siang itu masih terasa sepi, banyak warga setempat terutama di Desa Lesanpuro telah berangkat bekerja.Â
Cuaca bulan September yang cukup gerah semakin menambah sepinya suasana. Apalagi tak terdengar kicau burung dan irama daun yang berjoget karena desiran angin. Di salah satu sudut kebun warga di belakang Pura Dwija Warsa sedikit sayup terdengar lagu dangdut dari sebuah radio dan dari balik dedaunan semak tampak dua orang pria muda seperti sedang berjoget menggoyangkan kaki dan pinggulnya.Â
Ternyata, sekali pun ikut berdendang lembut mereka bukanlah sedang berjoget tetapi sedang melumat adonan campuran tanah, abu dari daun tebu, dan air untuk bahan baku pembuatan batu bata atau bata merah.
Sebut saja nama mereka, Mas Tusiran dan Mas Djojo, dua orang dari Desa Baran yang telah bekerja sebagai pembuat bata merah selama lebih dari lima tahun. Kali ini mereka mendapat borong kerja dari seorang pemborong bangunan untuk membuat batu bata sebanyak 20 ribu selama bulan September 2020.Â
Dari 20 ribu batu bata mereka berdua mendapat honor masing-masing 20% dari jumlah yang dibuat, artinya mereka masing-masing mendapat batu bata sebanyak 4 ribu.Â
Jika batu bata per seribu buah harganya 450 ribu maka uang yang mereka terima ketika sudah selesai sejumlah 4 X 450.000 = 1.800.000 rupiah. Jumlah yang cukup banyak untuk ukuran pedesaan apalagi di masa pandemi ini.
Dibanding dengan pengusaha lainnya ternyata pengusaha batu merah keuntungannya cukup berimbang dengan honor pekerjanya. Sekali pembakaran, sudah menjadi kesepakatan harus berjumlah 20 ribu yang harga jualnya: 20 X 450.000 = 9.000.000 (sembilan juta) Sedang ongkos produksi yang meliputi:
* Ongkos tukang                       :  3.600.000,-
* Kayu bakar                           :   300.000,-
* Abu daun tebu                        :   200.000,-