Tiap orang punya pandangan dan jalan hidup sendiri-sendiri. Semua tentu demi masa depan mereka sendiri namun bukan berarti mengabaikan yang lain, sebab apa yang dilakukan saat ini tanpa mengecewakan yang lain berarti juga menghargai, menghormati, serta memberi peluang yang lain untuk menjalani kehidupan masing-masing.
Kala sebagian buruh dan mahasiswa yang merasa mewakili sesama buruh dan mahasiswa yang tak puas dan setuju dengan disahkannya UU Cipta Kerja, ternyata masih banyak pula buruh yang tetap menjalankan kehidupannya sebagai buruh. Tak peduli dengan keadaan seperti saat ini? Tidak juga. Banyak alasan bagi mereka untuk tetap bekerja. Bukan sekedar mencari nafkah, tetapi juga mencari pengalaman, meraih prestasi, dan belajar menjalani kehidupan.Â
Seperti yang dilakukan oleh seorang buruh wanita sebuah perusahaan pemasaran perlengkapan mandi. Sebagai seorang karyawan bagian gudang yang artinya sebagai buruh, ia dan teman-temannya merasakan betapa akibat pandemi Covid-19 omzet penjualannya turun sangat deras.Â
Hal yang cukup membuat dia dan temannya tetap krasan bekerja adalah perusahaan tidak menurunkan gajinya hanya saja tidak ada lagi uang lembur dan semacamnya ketika penjualan normal. Melihat kenyataan ini, mereka pun rela memasarkan sendiri produk yang dijual secara langsung ke konsumen. Menawarkan produknya pada para pedagang dan pembeli di pasar-pasar tradisional.
"Buat apa demo Pak, nanti penjualan malah merosot," katanya dengan tersenyum sambil memberikan tiga buah sabun seharga 10 ribu rupiah pada penulis.
"Biasa di bagian quality control sekarang menjadi SPG ga rikuh?"
"Apa pun harus dilakukan demi berjalannya usaha toh demi kebaikan kami."
Sebuah jawaban yang terasa klise namun mempunyai arti mendalam yang keluar dari seorang buruh wanita yang masih muda dan cantik namun lincah dan tanpa malu-malu dengan suara lembutnya menawarkan sabun yang dibawanya dengan tas kecil. Senyum sapa nan lembut membuat beberapa pedagang dan para pembelanja enggan menolak tawarannya.
0 0 0
Beda lagi dengan kisah Mas Dani, sebut saja demikian, ia lebih suka menjadi pedagang di pasar tradisional daripada menjadi seorang buruh pabrik atau perusahaan. Sekalipun yang dijual hanya rujak gobet atau rujak serut hanya sekitar 20 bungkus per hari ia merasa lebih bebas. Itu pun hanya berjualan di depan gerbang pasar kecil tanpa lapak.
Demikian juga Mas Harto yang telah berjualan daging ayam potong selama 10 tahun. Baginya mencari nafkah dengan berdagang sekalipun dengan modal kecil dengan lapak terbuka lebih menjanjikan daripada menunggu upah sebulan sekali.
Lain lagi dengan Sujati yang menjadi pemasok kue basah di lapak-lapak kue pasar tradisional dan pedagang K5. Setiap hari paling tidak bisa menjual 150 kue buatan ibunya adalah yang sangat menyenangkan.
Pasar tradisional yang tampak kumuh dan hanya menjadi tujuan konsumen kelas menengah ke bawah dan kini telah banyak ditinggalkan ternyata masih bisa menyerap tenaga kerja produktif yang tak kenal menyerah untuk mengisi kehidupan dan memutar roda perekonomian negeri ini.