Mendung tipis bercampur debu pasir vulkanik yang menyembur dari kawah Bromo masih menyatu dengan iringan hembusan angin lembut dari arah selatan masih saja menyelimuti kawan seluruh wilayah kaldera Bromo. Sengatan bau belerang yang keluar dari perut bumi melalui kawah Bromo terasa menyesakkan apalagi debu-debu lautan pasir kaldera kadang menerjang wajah-wajah kami.Â
Sepoinya angin yang cukup menyegarkan raga seakan tiada guna walau udara gerah sore hari mulai luruh karena sinar mentari telah tertahan mendung yang mulai datang mengusir kemarau. Hujan yang tak terlalu deras beberapa hari ini masih saja belum memampatkan pasir yang kami lalui.
Libur yang cukup panjang di masa pandemi ini belum serta merta membawa para wisatawan untuk menghabiskan waktu menikmati pesona tahta para dewata di puncak Bromo. Harapan mengais sedikit lembaran merah uang seratus ribuan dalam sehari hanya menjadi angan para pemilik kuda sewaan yang akan menghantar para wisatawan dari Pura Poten di timur Gunung Batok menuju bawah tangga ke puncak kawah Gunung Bromo.
"Pulang saja....," seru salah satu pemilik kuda sambil naik kudanya. Tanpa mengiyakan, beberapa pemilik kuda langsung naik tunggangannya.
"Foto ya Mbah...," teriak Mas Parno salah satu penunggang kuda dari Cemoro Lawang yang hanya berjarak sekitar 2km dari Gunung Batok.
Hanya dua ratus meter memacu saya pun turun dari kuda besi dan menembak mereka dengan smartphone kelas ekonomi. Seolah mereka tahu apa yang harus dilakukan sebagai seorang bintang film western atau koboi tapi tanpa pistol mereka berjajar membentuk formasi yang cukup menarik. Kemudian dua orang sebelah kiri memacu sedikit cepat seakan sedang mengejar sesuatu. Demikian juga di sisi kanan tiga orang penunggang kuda menyusul memacu kudanya lebih dahulu dari yang lain.
Masyarakat suku Tengger dengan kudanya pada masa lalu adalah pemandangan biasa karena kuda sangat berperan untuk mencari rumput untuk pakan ternaknya, untuk mengangkut hasil bumi yang akan dijual ke pasar atau lain desa, untuk mencari dan mengangkut kayu bakar, dan untuk seni tradisional Jaran Kencak.
Kini, kuda lebih banyak digunakan sebagai sarana mencari nafkah untuk disewakan pada wisatawan dan kadang untuk seni tari Jaran Kencak. Sedang untuk mencari rumput dan kayu bakar lebih banyak menggunakan sepeda motor atau kuda besi.
Maka pemandangan para pemuda suku Tengger menunggang kuda dan memacu secara bersama-sama apalagi membentuk formasi tertentu sudah cukup langka.