"Sindennya cantik-cantik dan suara ulem (merdu dan lembut)," celutuk seorang penonton sambil melirik dua sinden yang sedang mengiringi pertarungan antara Calon Arang dan Mpu Barada.
"Cantik-cantik kok nyinden," kata seorang ibu pada temannya kala menonton kisah Panji Asmara Bangun dan Dewi Candra Kirana.
Dua ungkapan berbeda sering terungkap kala ada pertunjukan seni tradisional wayang kulit atau tayub. Ungkapan pertama merupakan ungkapan positif memberi semangat bagi kaum muda untuk melestarikan budaya daerah sebagai DNA budaya nasional.Â
Sebaliknya, ungkapan ke dua adalah akibat ketidaktahuan dan ketidakmengertian sebagian masyarakat akan arti nilai sebuah budaya tradisional.Â
Ketidakmengertian sebagian masyarakat inilah menjadi tanggungjawab para pengamat dan pegiat seni tradisional, seniman dan budayawan, termasuk di antaranya pihak pemerintah melalui dinas pendidikan dan kebudayaan serta dinas pariwisata terus mengenalkan seni tradisional sebagai salah satu unsur terpenting membentuk karakter bangsa.
Namun bukan berarti tidak berjalan semestinya, sebab kenyataan masih ada kaum muda yang terpanggil untuk berkiprah di bidang seni tradisional, di antaranya menjadi sinden.Â
Sekali pun menjadi sinden bukan sebagai profesi utama, sebab mereka pun tahu dan menyadari secara ekonomis pendapatan menjadi sinden hanya bisa untuk menutup beaya transportasi dari rumah ke tempat penampilan. Bahkan lebih banyak tampil tanpa mendapat fee. Demi kepuasan batin dan kelestarian budaya itu sendiri.
Di antara ratusan seniman dan seniwati muda, sebut saja dua nama gadis kembar cantik ini: Lelly Ayu Pramesti dan Lella Ayu Pramesta. Dua gadis yang kini masih kuliah di Akademi Farmasi Malang, sangat terpanggil menjadi sinden hanya demi kelestarian budaya.Â
Berbekal ketertarikannya akan musik campursari dan atas restu ke dua orangtuanya, mereka ikut sebuah kelompok campursari di tanah kelahirannya di sebuah desa di pelosok Wonogiri.