Purnamasidhi sudah mendekati tengah malam namun Begawan Durna belum bisa memejamkan mata walau rasa kantuknya sudah demikian berat namun tubuhnya terasa sulit untuk diajak merebahkan diri di pembaringan sunyi. Pikirannya masih melayang memikirkan Astina yang sedang berjalan menuju Baratayudha. Perang saudara keluarga besar Barata hanya karena kekuasaan. Begawan Durna yang merasa bahwa Kurawa putra Drestarata berhak atas Astina harus berhadapan dengan Pandawa putra Pandu.
Kurawa yang berjumlah besar ternyata tak terlalu tangguh dan siap menghadapi Pandawa yang kecil. Ketidaksolidan Kurawa dan kesombongan serta kekasaran sikap mereka ditambah lagi banyaknya pihak luar ikut campur semakin membuat Kurawa anak-anak Drestarata tak punya pendirian. Hanya tergantung pada Bisma, Adipati Karna, dan raja-raja kecil lainnya yang hanya ingin mendompleng kekuatan dan nama.
Di bailarung, Begawan Durna hilir mudik seperti lupa ingatan. Kadang mbesa atau jogged rangin seperti kala ikut tari tayub. Kadang berdiri termangu diam sambil mengusap jenggotnya yang sudah memutih lalu joged lagi.
Dursasono tak ingin ada wanita macam Matahari mata-mata Jerman yang pernah tinggal di Desa Tumpang, Malang. Mataharilah yang menghancurkan Inggris dan Perancis. Namun Dursasono tak bisa berbuat apa-apa karena Banowati adalah istri tercinta Suyudana atau Kurupati kakaknya sendiri. Inilah yang membuat Dursasono sakit hati.
Ketika Dursasono melongok keluar dari jendela, dilihatnya Begawan Durna sedang berjoged. Ia pun terkekeh, tak menyangka Sang Begawan yang ia cintai jadi bersikap aneh gegara membela keluarganya. Tak tega melihat keadaan Sang Begawan dalam keadaan seperti ini, Dursasono pun segera turun dan menuju pondok-pondok bambu membangunkan para wiyaga dan mengajak memainkan karawitan di bailarung.
Para wiyaga atau penabuh gamelan tak bisa menolak permintaan sang bendara (juragan) sekali pun ini tengah malam. Bagi mereka terpenting adalah menerima lemburan yang dapat ditabung bagi keluarga saat mereka ikut Baratayudha. Siapa tahu saat perang, mereka tewas atau setidaknya mengalami cacat tetap dan tidak mendapat pesangon dari Kurawa yang mungkin kalah perang.
Begawan Durna tak terlalu kaget melihat kedatangan Dursasono bersama para punggawa gamelan atau wiyaga. Namun bengong juga saat Dursasono mengajak berjoged. Akhirnya ia mau juga. Baginya ia merasa terhibur. Lalu mereka berdua pun berjoged rangin. Maunya sih joged tayub dengan para sinden yang cantik-cantik dan muda. Namun kuatir dianggap tak tahu diri, mereka hanya berjoged hingga menjelang dini hari. Kala kejora bintang timur sudah unjuk diri.
Ki dalang yang memainkan wayang : Dimas Wahyu Wibowo, cantrik Padepokan Seni Mangun  Dharmo dan masih kelas 4 SD.
Panjak penabuh kendang : Ki Supriyono, salah satu pengurus Padepokan Seni Mangun  Dharmo.
Wiyaga dan sindhen dari komunitas atau sanggar tari topeng Malang dari Desa Jabung, Kecamatan Kemantren Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H